Wednesday, March 8, 2017

Review Film “Logan” – Superhero juga Manusia




Logan, merupakan film ke-tiga dan terakhir dari seri wolverine, yang di mulai dari X-Men Origins: Wolverine (2009), Wolverine (2013) dan Logan (2016). Yang bisa di bilang merupakan klimaks dari film salah satu tulang punggung X-men (Wolverine), sepertinya agak terlambat membahas film ini yang sudah di rilis dari awal maret di bioskop (saya nontonnya tanggal 3 Maret 2017).


Logan yang merupakan nama asli dari mutant bernama Wolverine sangatlah menarik di tonton jalan ceritanya karena menurut saya, dialah mutant yang sudah mengalami semua masa, jika melihat dari film pertamanya X-Men Origins: Wolverine (2009), dia sudah lahir dari sekitar abad ke-19, mengalami perang dunia pertama dan kedua, dalam film saya ingat sepertinya lebih di ceritakan mengenai perang dunia kedua, hal ini juga terlihat pada lanjutan filmnya Wolverine (2013) yang bercerita mengenai "teman" dari Jepang yang di dapat di perang dunia kedua.


Dalam pakem film Hollywood yang menganut prinsip trilogy, terutama untuk cerita superhero yang menarik untuk di simak adalah awal dan akhirnya, atau dalam hal ini film pertama dan ketiga, karena dari film pertama kita akan di sajikan bagaimana awal mula dari semua cerita, kekuatan atau kelebihan yang di dapat sehingga di sebut superheror, dan film terakhir biasanya lebih bersifat superhero yang "manusiawi" hal ini terlihat juga di trilogy ironman, Iron Man 1 (2008); saat Tony Stark mendapat baru mengenakan baju besinya, dan Iron Man 3 (2013); "kegalauan" Tony Stark karena menyandang nama Iron Man. Saya sengaja tidak membahas seri ke-dua dari wolverine ataupun Iron Man karena menurut pendapat saya tidak penting.


Logan yang merupakan mutant yang "abadi" karena memiliki kemampuan menyembuhkan diri paling cepat dalam film ini juga di ceritakan lebih manusiawi karena faktor usia dan penyakit membuat dia terlihat lebih manusia yang sibuk dengan urusan duniawi, mencari kerja, menghambakan uang untuk mencapai suatu tujuan tertentu, karena frustasi akan sakit atau masalah mengambil jalan pintas dengan minum alkohol untuk menghilangkan depresi, bukankah manusia zaman sekarang rentan dengan depresi dan stress karena tekanan pekerjaan sehingga butuh pelarian dalam hidup.


Logan yang digambarkan seperti pria berumur 40-50 tahun yang menanggung sakit karena efek dari implant adamantium ataupun karena umur yang panjang? Memang tidak di jelaskan secara detail di film, telah kehilangan kemampuan penyembuhan diri dengan cepat dan depresi karena harus mengurus professor X yang sakit Alzheimer merupakan konflik batin yang coba di bangun sutradara, dengan latar belakang film perjalanan dari mexico menuju suatu lokasi di Dakota utara atau taman eden bagi para mutant kira-kira perjalanannya sejauh 3.500 km, mungkin kalau di Indonesia dari aceh sampai bali.


Dengan ditunjang oleh akting antara Hugh Jackman dan Patrick Steward yang mumpuni kita akan menyaksikan bukan sebuah film superhero umumnya, akan tetapi layaknya film drama keluarga yang menceritakan hubungan antara Ayah (Professor X) dan anak laki-lakinya (Wolverine) yang sering bentrok karena pendirian yang keras dan di akhiri perpisahan yang cukup sedikit menggugah perasaan karena meninggalnya sang ayah (mungkin kalau plotnya di tambah saat perpisahan kedua ayah-anak ini akan lebih mengoyak emosi penonton).


Dengan menonton film Logan sang sutradara James Mangold membawa kita pada cerita bahwa superhero itu tidak perlu menyelamatkan semua umat manusia, menjadi superhero bisa berarti peduli pada orang disekitar kita yang hanya segelintir yang mungkin bisa jadi orang-orang terdekat kita akhir kata film logan ini menurut saya cukup sukses sebagai film perpisahan Hugh Jackman dan Patrick Steward di seri X-Men dan sebuah trilogy dari sang Wolverine dimana sang superhero juga manusia yang bisa depresi, terluka dan bisa mati dan di kuburkan di tempat yang tidak di ketahui orang.

No comments:

Post a Comment