Monday, August 25, 2014

Inspirasi - Pintu Masuk Sederhana

Edward mengikuti pendidikan yang mengharuskannya tinggal di asrama. Ia diizinkan keluar pada Sabtu malam tapi hanya sampai tengah malam. Pada saat tengah malam, pintu ditutup dan dikunci. Mereka yang tetap masih di luar pada saat itu akan dihukum.

Sabtu itu, Edward berkenalan dengan seorang wanita. Mereka ngobrol tak putus-putusnya. Menit-menit berlalu dan mereka terus berbincang-bincang tanpa kenal waktu.

Tiba-tiba, Edward menyadari waktu telah berlalu. Dan ia sadar, pintu!

Sayangnya, sudah terlambat. Saat itu sudah lewat tengah malam. Sudah pukul 00.35. Apa yang bisa dilakukannya?

Ia mengucapkan selamat tinggal kepada wanita yang cantik, tapi ia tidak sempat mendapatkan nomor teleponnya, bahkan kecupan di pipi, lalu berjalan menuju ke asrama. Terlihat sebuah pohon besar yang memiliki cabang-cabang yang memungkinkannya untuk menaiki dinding asrama.

Sayang, sepatunya tidak dibuat untuk itu. Ia gagal menaiki pohon berkali-kali, tergelincir dan hampir mematahkan lehernya.

Akhirnya, ia sampai di atas tembok dan melompat. Ia sedikit memutar pergelangan kakinya. Ia menyadari sekarang ia harus berjalan dan ada dinding kedua. Ia memutuskan untuk melihat-lihat dan menemukan bagaimana cara mendakinya.

Ia melihat jalan menuju pintu masuk, dan ternyata terbuka. Ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa pintu utama bisa terbuka.

Berapa kali kita menghadapi masalah dalam hidup kita ketika ternyata ada solusi yang sederhana? Berapa kali kita berpikir bahwa yang terburuk akan terjadi ketika kita punya niat yang baik?

Sunday, August 24, 2014

Inspirasi - Cara Pandang yang Berbeda

Saat hendak menyesap tehnya, seorang murid melihat seekor lalat jatuh ke cangkirnya. Guru melihat wajah meringis murid itu dan mencondongkan tubuhnya ingin tahu. "Ada apa?"

"Oh, tidak," kata murid itu, "yang jelas ada 'jus terbang' di tehsaya," murid menambahkan dengan senyum kecil, ia tidak ingin gurunya berpikir bahwa lalat kecil bisa mengganggunya.

"Oh, lalat di teh," kata guru dengan nada rendah.

"Ya tidak ada masalah," murid meyakinkan dengan senyum.

Tapi Guru dengan wajah prihatin, terus fokus pada cangkir. Ia cepat bangkit dari kursinya, membungkuk dan mencelupkan jarinya, membuat perasaan tidak senang pada muridnya, mengambil lalat pada cangkir teh itu, dan meninggalkan ruangan.

Beberapa saat kemudian sang Guru kembali tersenyum mengatakan, "Dia akan baik-baik saja," dan ia menjelaskan bagaimana ia menempatkan lalat pada dedaunan, terkena sinar matahari, sehingga sayapnya bisa kering. "Dia masih hidup dan akan segera terbang," kata Guru sambil percaya diri dan tampak benar-benar acuh tak acuh terhadap teh muridnya.

Kemudian guru berbalik ke arah murid dan menambahkan, "Ini bukan soal teh, tapi kehidupan lalat. Anda selalu bisa mendapatkan secangkir teh tapi lalat tidak akan punya kehidupan lain."

Setiap orang akan mempunya cara pandang yang berbeda terhadap satu masalah

Inspirasi - Berkat Sekecil Apapun, Syukurilah

Alkisah di suatu negeri dilanda kelaparan. Ada satu keluarga kaya mengundang 20 anak-anak miskin datang ke rumahnya. Ia berkata kepada mereka, "Setiap orang dari kalian bisa mengambil satu roti dari keranjang itu. Sejak saat ini, setiap harinya, pada jam yang sama, kalian dapat datang ke sini dan mengambil satu roti sampai masa kelaparan berakhir."

Anak-anak menyerbu keranjang itu dan berebut mengambil roti yang lebih besar. Setelah mengambil roti, mereka pergi tanpa mengucapkan terima kasih.

Hanya seorang gadis kecil bernama Nur yang menunggu sampai semua anak selesai mengambil roti, barulah ia mengambil roti terakhir berukuran kecil yang tertinggal di keranjang. Ia mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah dan kemudian berjalan pulang.

Hari kedua, semua anak berlaku sama seperti pada hari pertama. Mereka menyerbu roti di keranjang itu bagaikan serigala lapar. Nur kecil kembali mendapatkan roti terkecil di keranjang karena ia mengambil terakhir kali, besarnya roti itu bahkan tidak sampai sebesar satu roti utuh.

Namun keanehan terjadi di hari kedua. Saat ia pulang ke rumah dan memberikan roti itu untuk ibunya agar dapat dipotong-potong, mereka menemukan sebuah koin perak ada di dalam roti tersebut.

Ibu Nur berkata, "Kembalikan uang ini kepada pemiliknya, Nak. Pasti koin ini tak sengaja terjatuh ke dalam adonan roti saat dibuat."

Nur mengembalikan uang itu kepada orang kaya tersebut. Namun orang kaya itu menolaknya dan berkata, "Adik kecil, saya menaruh uang di potongan roti terkecil adalah dengan sengaja. Saya ingin memberi hadiah."

Tuhan tahu saat kita bersyukur walaupun rejeki sekecil apapun, Dia akan lebih mengasihi orang tersebut. Jika saat ini kita sedang merintis karir atau kita merasa penghasilan kita sedikit, sementara kita melihat tetangga kita lebih berhasil, tetaplah bersyukur.

Awan gelap tidak selamanya menutupi langit biru

Inspirasi - Mangkuk Air Disurga

Seorang pria dan anjingnya berjalan sepanjang jalan. Pria itu sedang menikmati pemandangan, ketika tiba-tiba terpikir olehnya bahwa ia sudah mati. Ia ingat mati, dan anjing yang berjalan di sampingnya sudah lama mati bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya ke mana jalan menuntun mereka.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah dinding batu putih yang tinggi sepanjang satu sisi jalan. Tampak seperti marmer halus. Di bagian atas dinding panjang itu, rusak oleh lengkungan yang bersinar di bawah sinar matahari.

Ketika ia berdiri di depan, ia melihat sebuah gerbang megah di lingkungan yang tampak seperti mutiara, dan jalan yang menuju pintu gerbang tampak seperti emas murni.

Pria dan anjingnya itu berjalan menuju pintu gerbang. Dan saat ia mendekat, ia melihat seorang pria di meja di satu sisi.

Ketiaka ia cukup dekat, ia berteriak, "Maaf, di mana kita?"

"Ini adalah surga, Pak," jawab pria itu.

"Wow! Apakah Anda kebetulan memiliki air?" tanya pria itu.

"Tentu saja, Pak. Masuklah, dan saya akan membawakan beberapa air es yang dibawa dari atas."

Pria itu memberi isyarat, dan gerbang mulai terbuka. "Bisa teman saya," sambil menunjuk anjingnya, "masuk juga?" tanyanya.

"Maafkan saya, Pak, tapi kami tidak menerima hewan peliharaan."

Pria itu berpikir sejenak dan kemudian berbalik kembali ke jalan dan melanjutkan perjalanannya pergi bersama anjingnya.

Setelah melewati jalan lain, ia tiba di atas bukit yang panjang. Jalan tanah yang melalui gerbang pertanian yang tampaknya tidak pernah ditutup. Tidak ada pagar. Saat ia mendekati pintu gerbang, ia melihat seorang pria di dalam, bersandar di pohon, dan membaca  buku.

"Permisi," dia memanggil orang itu, "Apakah Anda punya air?"

"Ya, tentu, ada pompa di sana, masuklah."

"Bagaimana teman saya ini?" pria itu menunjung ke anjingnya.

"Harus ada mangkuk dengan pompa," kata pria itu.

Mereka pergi melewati pintu gerbang, dan tentu saja, ada pompa tangan kuno dengan mangkuk di sampingnya. Pria itu mengisi mangkuk air dan mengambil air untuk diminumnya sendiri, kemudian ia memberikan kepada anjingnya.

Ketika mereka kenyang, ia dan anjingnya berjalan kembali ke arah pria yang berdiri di pohon.

"Kau sebut apa tempat ini?" tanya pria dengan anjingnya itu.

"Ini adalah surga," jawabnya.

"Ah, ini membingungkan," kata pria itu lagi. "Pria di jalan tadi juga mengatakan bahwa tempatnya itu juga surga."

"Oh, apakah tempat dengan jalan emas dan gerbang mutiara? Tidak. Itu neraka."

"Apakah tidak membuat orang lain bingung bila menggunakan nama sama seperti itu?"

"Tidak, mereka hanyalah menyaring orang-orang yang mau meninggalkan teman-teman terbaik mereka di belakang."

Inspirasi - Sesederhana Untuk Dilihat

Sekali waktu, ular mengejar kunang-kunang. Kunang-kunang terus melarikan diri dengan cepat, takut predator ganas, tetapi ular bahkan tidak berpikir untuk menyerah.

Kunang-kunang melarikan diri suatu hari, namun ular tidak pantang menyerah. Hingga hari ketiga, kunang-kunang melemah, berhenti, dan bertanya kepada ular, "Bisakah aku bertanya tiga pertanyaan?"

Jawab ular, "Saya biasanya tidak melanjutkan cara ini dengan siapapun, tapi karena aku akan tetap melahapmu, silakan bertanya."

Maka kunang-kunang pun bertanya, "Pertanya, apakah saya bagian dari rantai makananmu?"

"Kedua, apakah saya merugikanmu dengan cara apapun?"

"Ketiga, mengapa engkau tidak menyelesaikan ini saja, dengan segera memakanku?"

Jawab ular, "Karena aku tidak tahan melihatmu bersinar."

Demikian pula dalam kehidupan kita. Banyak sekali kita tidak mengerti alasan yang kita terima atas penganiayaan, kemarahan, kebohongan, fitnah, mengapa orang lain membuat cerita bohong tentang diri kita, dst.

Tapi hanya satu alasan yang menyebabkan demikian, karena mereka tidak tahan melihat kita lebih "bersinar".

Inspirasi - Membuat Neraka Bagi Diri Sendiri

Seorang pria pernah datang dan meludahi wajah Buddha. Buddha mengusap wajahnya dan bertanya kepada orang itu, "Apakah kamu ingin mengatakan sesuatu yang lebih banyak, atau hanya ini?"

Murid dekatnya sangat marah. Ia marah karena orang datang dan hanya meludahi tuannya dan tanpa alasan sama sekali. Ia berkata kepada Buddha, "Guru, jika Anda memberi saya izin, saya akan menangani pria itu."

Buddha menjawab, "Apakah engkau lupa bahwa engkau adalah seorang biarawan, seorang sannyasi? Orang miskin ini sudah menderita dengan kemarahannya. Lihat wajah marahnya, tubuhnya gemetar karena marah itu. Dan sebelum meludah ke saya, apakah engkau pikir dia akan merayakan dan menari? Ia marah pada diri sendiri. Dalam kegilaannya, ia datang dan meludahi saya.

Apa hukuman yang lebih besar baginya daripada berada pada keadaan seperti itu? Dan apa salah yang telah dilakukannya kepada saya? Saya hanya harus menghapus ludah dari wajahku. Sekarang engkau tidak akan gelisah, jika sedang membangun kemarahan yang sama dalam dirimu. Mengapa engkau menghukum diri sendiri? Itu adalah kebodohan. Merasa kasihan bagi orang miskin sebagai gantinya.

Pria itu mendengarkan dan terkejut serta bingung melihat perilaku Buddha seperti itu. Ia mengharapkan Budda marah. Itulah yang ia inginkan. Sebaliknya, belas kasih dan pemahaman Budda yang diperlihatkan, malahan membuatnya terkejut.

Buddha berkata kepada pria itu, "Pulanglah. Anda tampak lelah. Anda telah cukup menghukum dirimu sendiri. Lupakan apa yang telah Anda lakukan kepada saya. Anda tidak menyakiti saya. Badan ini akan kembali ke bumi dan orang-orang akan melakukan segala macam hal-hal seperti meludah. Pulanglah dan bersantailah."

Pria itu benar-benar terguncang oleh respon Buddah. Ia kembali ke rumah. Malam itu ia kembali kepada Buddha, menjatuhkan dirinya di kaki Buddha dan menangis, "Maafkan saya."

Buddha dengan tenang berkata, "Saya tidak marah saat pertama kali melihatmu. Bagaimana saya bisa memaafkanmu? Tapi saya senang melihat Anda sudah lega dari kemarahan dan dalam keadaan harmonis. Hanya ingat: jangan pernah melakukan tindakan seperti itu lagi, karena ini adalah bagaimana Anda menciptakan neraka bagi diri Anda sendiri."

Inspirasi - Marah Membuat Gila

Suatu hari Buddha sedang berjalan melalui sebuah desa. Seorang pria muda yang sangat marah dan kasar, datang dan mulai menghina Buddha.

"Anda tidak memiliki hak untuk mengajar orang lain," teriak pria muda itu. "Anda sama bodohnya dengan orang lain. Anda pembohong."

Buddha tidak marah atas penghinaan itu. Sebaliknya, ia meminta pemuda itu dengan sopan, "Katakan, jika Anda membeli hadiah untuk seseorang, dan orang tidak mengambil hadiah itu, menjadi milik siapakah hadiah itu?

Pria itu terkejut akan pertanyaan aneh yang diajukan, dan menjawab, "Tentu saja ini akan menjadi milik saya, karena saya yang membeli hadiah itu."

Sang Buddha tersenyum dan berkata, "Itu benar. Dan itu persis sama dengan kemarahan Anda. Jika Anda marah dengan saya dan saya tidak merasa terhina, maka kemarahan jatuh kembali pada Anda. Anda kemudian satu-satunya yang menjadi tidak bahagia, bukan aku. Semua yang telah Anda lakukan adalah menyakiti diri sendiri."

Buddha melanjutkan, "Jika Anda ingin berhenti  menyakiti diri sendiri, Anda harus menyingkirkan kemarahan Anda dan menjadi penuh kasih sebagai gantinya. Ketika Anda membenci orang lain, Anda sendiri menjadi tidak bahagia. Tetapi ketika Anda mencintai orang lain, semua orang yang bersama dengan Anda menjadi bahagia."

Pria itu bertanya, "Mengapa Anda tidak merasa tersinggung?"

Sang Buddha mengajukan lagi pertanyaan yang kedua, "Jika saya memberikan dua buah kepada Anda, di antara mereka ada yang segar dan renyah, sementara yang lain tidak bersih dan tidak segar, buah mana yang akan Anda makan?"

Pria itu jelas menjawab memilih yang pertama. Buddha tersenyum dan bertanya lagi, "Mengapa?"

Pria itu menjawab, "Buah yang berdebu, kotor, bisa membuat saya sakit."

Sang Buddha berkata, "Tepat. Lapisan yang bertabur itu adalah lapisan ego. Aku tidak merasa terhina karena tidak punya ego apapun juga. Ego membunuh kita dan menyebabkan gangguan kesehatan."

Pemuda itu mendengarkan kata-kata bijak dari Sang Buddha dan meminta maaf.

Inspirasi - Tidak Ada yang Sia Sia

Seorang murid Buddha, berkata, "Oh, Guru! Saya memiliki permintaan untuk membuat sesuatu."

Tanya Buddha, "Apa itu, katakan padaku."

Jawab murid, "Jubah saya sudah usang. Rasanya tidak cukup layak untuk dipakai lagi. Mungkinkah saya memiliki yang baru?"

Buddha memandang pakaian murid itu dan melihat memang pakaiannya sudah benar-benar compang-camping dan memang membutuhkan pengganti. Maka ia meminta penjaga toko pakaian untuk membuatkan jubah baru untuk muridnya itu. Muridnya memberi hormat kepada guru besarnya dan meninggalkan ruangan.

Buddha terus berpikir tentang kejadian itu dan merasa bahwa ia mungkin melewatkan kesempatan untuk mengajarkan pelajaran berharga bagi muridnya. Jadi, ia pun pergi ke pemondokan murid itu untuk berbicara dengannya.

Tanya Buddha, "Apakah Anda merasa nyaman dalam jubah baru itu? Apakah Anda perlu sesuatu yang lain?"

Jawab murid itu, "Terima kasih, Guru. Saya merasa sangat nyaman dan tidak membutuhkan yang lain."

"Sekarang Ana sudah memiliki jubah yang baru, apa yang Anda lakukan dengan jubah yang lama?" tanya Buddha.

"Saya telah menggunakannya untuk menggantikan seprai saya yang juga sudah usang, Guru," jawab murid itu.

"Apa yang Anda lakukan dengan seprai tua?"

"Guru, saya menggunakannya untuk tirai di jendela."

"Lalu, apakah Anda membuang tirai jendela lama?"

"Guru, saya merobeknya menjadi empat bagian dan saya menggunakannya menjadi cempal dapur untuk mengangkat panci atau wajan panas di dapur."

"Bagaimana dengan cempal dapur yang sudah tua?"

"Saya menggunakannya untuk kain pel untuk membersihkan lantai."

"Lalu, dimana kain pel tua?"

Murid itu menjawab, "Guru, pel tua itu begitu compang-camping. Yang bisa saya lakukan adalah mengurai benang-benangnya kemudian membuat sumbu untuk lampu minyak. Salah satunya adalah yang menyala di kamar Guru."

Buddha tersenyum. Ia senang bahwa muridnya menyadari tidak ada yang sia-sia.

Kita pun dapat menemukan segala sesuatu untuk digunakan, kalau kita mau. Tidak ada yang harus terbuang, bahkan waktu. Jika kita semua mempraktekkan kebiasaan hemat, kita dapat melestarikan sumber daya terbarukan untuk anak-anak, cucu-cucu kita, seperti yang telah nenek moyang kita lakukan bagi kita.

Mari kita lakukan satu momen untuk Bumi!

Inspirasi - Menggenggam Sukses

Alkisah, ada seorang tua yang terkenal sangat bijak dan mempunyai kemampuan mengetahui apa yang sedang dialami oleh orang lain yang bertemu dengannya. Seorang pemuda penasaran akan kemampuan orang tua yang terkenal bijak dan "berkemampuan" itu. Ia ingin menguji kemampuan orang tua itu. Maka ia membawa seekor burung di tangannya dan menggenggam burung itu.

"Saya ingin menguji apa betul kemampuan yang bapak tua ini punya. Saya ingin menanyakan apakah burung yang saya bawa ini hidup atau mati kepada bapak tua ini. Kalau bapak tua itu menjawab bahwa burung yang saya bawa ini hidup, maka saya akan segera meremas burung itu hingga mati dalam genggaman saya. Apabila ia menjawab burung itu mati, saya akan segera melepaskan genggaman hingga burung itu bisa terbang," gumam pemuda itu sambil berjalan ke arah rumah orang tua bijak itu. Sementara, burung yang dalam genggamannya ia sembunyikan di balik punggungnya.

"Wahai Bapak Tua, saya sudah lama mendengar tentang bapak dan keahlian bapak. Saya sekarang sedang membawa burung dalam genggaman saya. Nah, kalau bapak betul-betul hebat seperti yang diceritakan oleh banyak orang, coba bapak tebak apakah burung yang saya bawa ini mati atau hidup? Kalau betul, saya akan mengangkat Anda menjadi guru saya," kata pemuda itu.

Orang tua bijak itu melihat dan memandangi sebentar pemuda yang menyembunyikan genggaman tangan di balik punggungnya. "Wahai anak muda, burung yang kamu bawa itu, mati atau hidup tergantung dalam genggamanmu. Sama seperti sukses dirimu, semua dalam genggamanmu," jawab bapak tua itu singkat sambil berlalu.

Demikian pula dalam kehidupan kita, sukses atau tidak tergantung pada diri kita sendiri, ada dalam genggaman kita sendiri. 

Memoles Diri

Ada seorang raja pengagum seni. Ia mendorong seniman dari seluruh negara dan memberi mereka hadiah berharga.

Suatu hari seorang seniman datang dan berkata kepada raja, "Raja,  beri aku dinding kosong di istana Anda dan biarkan aku melukis di atasnya. Ini akan menjadi lebih indah dari apa yang pernah Anda lihat sebelumnya. Aku berjanji Anda tidak akan kecewa."

Kebetulan raja membangun sebuah aula besar di bagian belakang istana. Lalu Raja berkata, "Baiklah Anda mungkin bisa melukis pada salah satu dinding di ruang baru kami." Jadi seniman itu diberi pekerjaan dan dia sangat senang.

Saat itu, pemuda lain berkata, "Raja! Perkenankan saya juga melukis dinding di seberangnya. Saya juga seorang seniman."

Raja berkata, "Apa yang ingin kamu  buat?"

Pria itu berkata, "Ya Tuanku, aku akan membuat apa yang orang itu buat, tapi di dinding seberangnya. Selain itu, aku akan melakukannya, tanpa melihat karyanya. Aku bahkan akan meminta Anda untuk menyiapkan tirai tebal antara dua dinding sehingga salah satu dari kita tidak bisa melihat yang lain."

Semua orang di istana itu, termasuk Raja dan seniman yang pertama, tertarik. Tapi Raja menyukai kejutan dan ia memutuskan untuk memberikan anak muda itu kesempatan.

Hari berikutnya tirai tebal dipasang di antara kedua seniman itu bekerja.

Seniman pertama membawa pasokan cat, minyak, air, dll. Sementara, seniman kedua datang dengan kain dan ember air setiap hari.

Setelah sebulan, seniman pertama berkata kepada Raja bahwa karyanya telah selesai dan ia ingin menunjukkannya kepada Raja. Raja memanggil seniman kedua dan bertanya, "Anak muda, apakah pekerjaanmu sudah siap? Saya akan datang untuk melihat dinding pertama malam ini."

Anak muda itu berkata, "Ya Tuanku, dinding saya juga sudah siap."

Raja melihat dinding seniman pertama. Ia sangat terkesan  dengan lukisan seniman itu dan memberikan hadiah yang besar untuk seniman itu. Ia kemudian meminta tirai untuk dibuka. Lukisan yang sama persis terlihat di dinding seberangnya. Ajaib! Tapi nyata! Setiap baris, setiap detil, sama persis dengan dinding yang pertama. Padahal seniman kedua ini tidak pernah melihat apa yang sedang terjadi di balik tirai. Lalu, bagaimana ia melakukannya?

Raja ingin tahu rahasianya. Ia memberi hadiah doble untuk orang itu. Kemudian Raja berkata, "Anak muda, saya memang sangat senang dengan pekerjaanmu. Tapi engkau harus memberitahu saya, bagaimana kau melakukannya?"

Anak muda itu hanya mengatakan, "Ini sangat mudah! Aku  hanya memoles dinding setiap hari! Dinding itu terbuat dari marmer putih. Dinding itu dipoles sampai bersinar seperti cermin. Refleksi dari lukisan di dinding seberang itulah yang muncul di sini!"

Itulah apa artinya memoles diri. Karena ketika kita memoles hati dan jiwa kita, kita melihat refleksi Tuhan dalam diri kita. Dikatakan bahwa dunia adalah refleksi dari kita. Apa pun kita, dunia akan tampak seperti itu juga.

Jika kita sedih, cemburu, kesal, marah, gelisah, itulah yang akan tampak pada dunia. Jika kita senang, dunia akan tampak seperti surga.

Kitalah yang memutuskan bagaimana kita ingin melihat dunia.