Thursday, February 20, 2014

Comfort Zone

Seorang pembicara dalam sesi pelatihan eksekutif muda memulai dengan menggambar diagram dari seorang pria yang berdiri dengan tongkat di tengah lingkaran. Untuk membuatnya lebih menarik, ia menggambar hal-hal seperti rumah, mobil, dan beberapa teman di dalam lingkaran.

Ia mengajukan pertanyaan, "Adakah yang bisa mengatakan padaku, apakah ini?"

Setelah lama terdiam, seseorang mengatakan, "Dunia?"

Pembicara itu mengatakan, "Hampir. Ini adalah zona nyaman Anda. Dalam lingkaran, Anda memiliki semua hal yang penting bagi Anda. Rumah, keluarga, teman, dan pekerjaan. Anda merasa bahwa orang yang di dalam lingkaran ini aman dari bahaya atau konflik."

"Ada yang bisa ceritakan, apa yang terjadi ketika Anda melangkah keluar dari lingkaran ini?"

Keheningan menguasai ruangan pelatihan tersebut. Tiba-tiba orang yang tadi bersemangat menjawab, memberikan jawabannya, "Anda takut." Orang lain menjawab, "Anda melakukan kesalahan."

Keheningan kembali menguasai ruangan itu dan pembicara tersenyum, lalu berkata, "Ketika Anda membuat kesalahan, apa yang akan terjadi?"

Orang yang pertama menjawab tadi berteriak, "Anda belajar sesuatu."

"Tepat! Anda belajar." Pembicara itu pun beralih ke papan tulis dan menggambar panah yang menunjuk pria dengan tongkat langsung ke luar lingkaran."

Ia melanjutkan, "Ketika Anda meninggalkan zona nyaman, Anda menempatkan diri di luar sana, di depan dunia yang situasinya tidak nyaman. Hasil akhirnya adalah bahwa Anda telah belajar sesuatu yang tidak Anda tahu. Anda memperluas pengetahuan untuk menjadi orang yang lebih baik."

Ia berbalik lagi ke papan tulis dan menggambar sebuah lingkaran besar di sekitar lingkaran sebelumnya. Ia juga menambahkan beberapa hal baru seperti teman-teman, rumah yang lebih besar, dst. Jika seseorang tinggal terus di dalam zona nyaman, ia tidak dapat memperluas wawasan dan belajar sesuatu.

Keluar dari zona nyaman, memungkinkan seseorang dapat membuat lingkaran yang lebih  besar dan cakrawala yang lebih luas.
BPA

Lukisan Yang Tidak Sesuai Harapan

Kisah berikut ini mungkin bisa menjadikan hidup kita lebih bermakna. Mari kita simak.

Saat renovasi rumah, si empunya rumah sudah merencanakan memasang sebuah lukisan potret keluarga di ruang tamu yang telah ditatanya dengan indah. Lukisan itu telah dipesan melalui seorang seniman pelukis wajah yang terkenal dengan harga yang tidak murah.

Tetapi, saat lukisan itu tiba di rumah dan hendak dipasang, dia merasa tidak puas dengan hasil lukisan dan meminta si pelukis memperbaikinya sesuai dengan gambar yang dibayangkan.

Apa daya, setelah diperbaiki hingga ketiga kalinya, tetap saja ada sesuatu yang tidak disukai pada lukisan tersebut sehingga setiap si pemilik rumah melintas ruang tamu, selalu timbul ketidakpuasan dan kekecewaan. Itu sangatlah mengganggu pikirannya. Menjadikan dirinya tidak senang, uring-uringan, jengkel, kecewa dan sebal dengan ruang tamunya yang indah itu. Semua gara-gara sebuah lukisan!

Suatu hari, datang bertamu ke rumah itu keluarga sahabatnya. Sahabat ini termasuk pengamat seni yang disegani di lingkungannya. Saat memasuki ruang tamu—setelah bertukar sapa begitu akrab dengan tuan rumah—tiba-tiba mereka bersamaan terdiam di depan lukisan potret keluarga itu.

Si tuan rumah buru-buru menyela, "Teman, tolong jangan dipelototi begitu, dong. Aku tahu, lukisan itu tidak seindah seperti yang aku mau, tetapi setelah di revisi beberapa kali jadinya seperti itu, ya udahlah, mau apalagi?"

"Lho, apa yang salah dengan lukisan ini? Lukisan ini bagus sekali, sungguh aku tidak sekedar memuji. Si pelukis bisa melihat karakter objek yang dilukisnya dan menuangkan dengan baik di atas kanvas, perpaduan warna di latar belakangnya juga mampu mendukung lukisan utamanya. Betul 'kan, Bu?" tanyanya sambil menoleh kepada istrinya.

"Iya, lukisan ini indah dan berkarakter. Jarang-jarang kami melihat karya yang cantik seperti ini. Kamu sungguh beruntung memilikinya," si istri menambahkan dengan bersemangat. Kemudian, mereka pun asyik terlibat diskusi tentang lukisan itu.

Setelah kejadian itu, setiap melintas di ruang tamu dan melihat lukisan potret keluarga itu, dia tersenyum sendiri teringat obrolan dengan sahabatnya. Kejengkelan dan kemarahannya telah lenyap tak berbekas.

Jika sebuah lukisan tidak bisa diubah atau banyak hal lain di luar diri kita yang tidak mampu kita ubah sesuai dengan keinginan kita atau selera kita, maka tidak perlu menyalahkan keadaan! Karena sesungguhnya, belum tentu lukisan atau keadaan luar yang bermasalah, tetapi cara pandang kitalah yang berbeda. Jika kita tidak ingin kehilangan kebahagiaan maka kita harus berusaha menerima perbedaan yang ada.
BPA

Tuesday, February 18, 2014

Pedagang Kaya dan 4 Istri

Ada seorang pedagang kaya yang memiliki 4 istri. Ia mencintai istrinya yang keempat dan memberinya pakaian bagus dan memberinya makanan lezat. Istrinya memberikan perhatian yang besar dan sang suami tidak, tapi memberikan yang terbaik.

Ia juga mencintai istri ketiganya. Sang suami sangat bangga padanya dan selalu ingin memamerkan istrinya itu kepada teman-temannya. Namun, pedagang itu selalu ketakutan kalau-kalau istrinya ini berpaling ke pria lain.

Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ke-2. Ia sangat perhatian, selalu sabar, dan percaya pada pedagang itu. Setiap kali pedagang kaya itu menghadapi beberapa masalah, ia selalu menemui istrinya ini yang akan selalu membantunya keluar dari masa-masa sulit.

Dan istri pertama pedagang adalah pasangan yang sangat setia dan telah memberikan pelayanan yang besar dalam menjaga kekayaan dan usaha serta mengurus rumah tangga. Namun, pedagang itu tidak mencintai istri pertamanya. Meskipun sang istri sangat mencintai suaminya, pedagang itu tidak pernah memperhatikan istri pertamanya ini.

Pada suatu hari, pedagang kaya itu jatuh sakit. Tak lama, ia tahu bahwa ia akan segera menghadap yang empu-Nya surga. Ia memikirkan hidup mewahnya dan mengatakan pada dirinya sendiri, "Sekarang aku punya 4 istri. Tapi ketika aku mati, aku akan sendiri. Bagaimana kesepiannya aku ini!"

Ia pun meminta kepada istrinya yang keempat, "Istriku yang paling aku cintai, kuberikan pakaian terbaik dan perhatian besar padamu. Sekarang aku sekarat, apakah kau akan mengikuti dan menemaniku?"

"Tidak mungkin!" jawab istri keempatnya itu, dan pergi meninggalkan suaminya tanpa berkata apa pun.

Jawaban itu seperti pisau tajam yang menghujam tepat ke jantungnya. Dengan sedih, pedangan itu kemudian meminta kepada istri ketiganya, "Aku telah mengasihimu begitu  besar. Sekarang aku sekarang, apakah kau akan mengikuti dan menemaniku?"

"Tidak!" jawab istri ketiganya. "Hidup di sini begitu indah! Aku akan menikah lagi jika kau mati!" Ups, jantung pedagang itu secara mau copot dan berubah dingin.

Ia kemudian bertanya pada istri keduanya, "Saya selalu mencarimu setiap kali ada masalah dan kau selalu membantuku keluar dari masa-masa sulit. Sekarang aku perlu  bantuanmu lagi. Kalau aku  mati, apakah kau akan mengikuti dan menemaniku?"

"Maafkan aku, kali ini aku tidak bisa membantumu keluar dari masalah," jawab istri keduanya. "Paling-paling aku hanya bisa mengirimmu ke kuburan." Jawaban istri keduanya itu bagaikan petir yang menyambar hati pedagang kaya itu hingga hancur berkeping-keping.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar, "Aku akan pergi mengikuti kemanapun kau pergi." Pedagang itu mendongak dan ada istri pertamanya. Wanita itu begitu kurus, hampir seperti menderita kekurangan gizi. Dengan sangat sedih, pedagang itu berkata, "Aku seharusnya mengurusmu jauh lebih baik ketika aku bisa!"

Sebenarnya, kita memiliki 4 istri dalam kehidupan kita.

Istri keempat adalah tubuh kita. Tidak peduli berapa banyak waktu dan usaha yang kita sisihkan untuk membuatnya terlihat bagus, tapi tubuh itu pun akan meninggalkan kita ketika kita mati.
Istri ketiga adalah harta milik, status, dan kejayaan kita. Ketika kita mati, semua itu akan hilang.
Istri kedua adalah keluarga dan teman-teman kita. Tidak peduli seberapa dekat mereka ketika kita masih hidup, paling jauh yang mereka bisa tinggal dengan kita hanya sampai ke liang kubur.
Istri pertama kita sebenarnya jiwa kita, yang sering diabaikan karena mengejar materi, kekayaan, dan kesenangan sensual belaka.
Istri pertama itulah sebenarnya satu-satunya hal yang mengikuti kemana pun kita pergi. Ide yang terbaik sekarang ini adalah membuatnya tetap sehat dan memperkuat imunitas tubuh daripada menunggu sampai kita terkapar di ranjang, dan meratap.
BPA

Sunday, February 16, 2014

Sup Ajaib

Cerita inspiratif hari ini:
Bertahun-tahun yang lalu, tiga orang tentara, lapar dan lelah karena pertempuran, tiba di sebuah desa kecil. Pada penduduk desa, yang karena hasil panen sedikit dan bertahun-tahun menderita karena peperangan, dengan cepat menyembunyikan apa yang tersisa untuk makan. Mereka bertemu dengan tiga tentara itu di alun-alun desa, meremas-remas tangan mereka, dan meratapi kurangnya sesuatu untuk dimakan.

Para prajurit itu berbicara pelan di antara mereka dan prajurit pertama kemudian beralih ke tetua desa. "Kebosanan kalian membuat kalian tidak meninggalkan apa-apa untuk berbagi, jadi kita akan berbagi sedikit yang kita miliki. Bagaimana rahasia membuat sup dari batu."

Tentu saja warga tertarik dan segera memasang api untuk memasak sup. Mereka memakai panci terbesar di kota itu dan prajurit itu memasukkan tiga batu kecil ke dalam panci. "Sekarang, ini akan menjadi sup yang enak," kata prajurit kedua. "Eh, tapi sedikit garam dan beberapa tangkai seledri akan membuatnya semakin enak!"

Seketika melompatlah seorang warga desa sambil menangis, "Ah! Aku  baru ingat ada sedikit garam di rumah." Ia pun berlari, kembali dengan beberapa tangkai seledri dan beberapa buah lobak. Selagi panci merebus air dan beberapa sayuran di dalamnya, prajurit itu mengingatkan warga desa siapa tahu mereka memiliki sesuatu. Segera terkumpullah biji-bijian, wortel, daging sapi, dan krim yang mereka masukkan ke dalam panci besar. Dan satu drum anggur pun meluncur ke alun-alun, karena semua orang telah duduk untuk berpesta.

Mereka makan dan menari dan bernyanyi hingga malam hari. Mereka merasa segar akan pesat dan teman-teman baru mereka. Di pagi hari, tiga prajurit itu terbangun dan menemui para penduduk desa. Di bawah kaki mereka diletakkan sebuah tas berisi roti dan keju terbaik dari desa itu.

"Kalian telah memberi kami hadiah terbesar, rahasia bagaimana membuat sup dari batu," kata tetua desa. "Dan kita tidak akan pernah melupakan itu."

Prajurit ketiga berbicara kepada orang banyak itu, "Tidak ada rahasia, tapi ini yang pasti, hanya dengan saling berbagi kita dapat membuat sebuah pesta."

Semakin banyak kita berbagi, semakin kita merasa saling memiliki.
BPA

Friday, February 14, 2014

Benarkah Tidak Ada Waktu?

Mirna dan Maya adalah teman selama bertahun-tahun. Mereka tumbuh bersama dan bersekolah di tempat yang sama. Kini, mereka berumur 40 tahun, dan keduanya memiliki karir yang hebat. Mereka berdua memiliki pendidikan yang sama, nilai-nilai keluarga yang sama, saling mendukung, dan posisi keuangan pun sama.

Tapi ada satu perbedaan utama. Mirna tampaknya tidak pernah memiliki cukup waktu. Ia melihat kehidupan sahabat karibnya, Maya. Mereka memiliki tanggung jawab dan minat yang sama. Maya memiliki karir bagus, ia memiliki tiga anak, ia punya hobi yang sama, salah satunya golf. Selama makan siang, Maya menceritakan kepada Mirna tentang permainan golf yang ia mainkan akhir pekan lalu.

"Maya, bagaimana kau punya waktu untuk bermain golf?" tanya Mirna. "Aku tidak pernah punya waktu, apalagi sekarang anak-anak semakin besar, dan aku pikir aku bisa punya waktu untuk bermain golf seperti yang kita lakukan saat masih kuliah. Tapi, nyatanya aku benar-benar tidak punya waktu."

Maya menatap Mirna dan tertawa, "Mirna, kita berdua memiliki jam yang sama dalam satu hari. Kau pun memiliki waktu untuk bermain golf."

Dengan menghela napas Mirna menjawab, "Mudah buatmu bicara. Aku tidak pernah punya waktu. Pekerjaanku menyita waktuku. Aku tiba di kantor pukul 7.30, pulang pukul 18.30. Saat aku sampai di rumah dan makan malam, itu sudah pukul 20.00. Biasanya saya membuka kembali tas kerja saya yang penuh dengan pekerjaan. Akhir pekan pun lebih banyak pekerjaan. Kau tahulah bagaimana rasanya!"

"Tentu saja, aku tahu bagaimana rasanya," kata Maya. "Tapi apa yang akan terjadi besok jika kau jatuh sakit? Siapa yang akan mengerjakan pekerjaanmu?"

"Sakit. Siapa yang memiliki waktu untuk sakit!" seru Mirna. "Tapi kalau aku sakit, orang lain akan melakukan pekerjaan itu, aku kira."

"Kau tahu, Mirna, aku pun seperti dirimu. Aku bekerja siang dan malam, dan tentu saja akhir pekan. Ketika aku sampai di rumah aku sudah lelah, tapi aku akan memaksa diriku untuk membacakan cerita ke anak-anak sebagai pengantar tidur mereka. Pada saat aku akan pergi tidur, lelah pun sudah pergi. Bosku pun seperti itu. Dia ada di sana pagi-pagi, hingga larut malam, dan dia selalu bekerja akhir pekan. Aku merasa, aku harus melakukan demikian, karena aku membutuhkan pekerjaan ini untuk keluargaku. Sama seperti yang kau lakukan. Tapi kemudian bosku ganti. Yang ini lebih tua dan lebih bijaksana. Tentu saja, aku tetap bekerja meski jam kerja telah usai. Suatu hari ia datang ke mejaku dan meninggalkan sebuah kartu yang tertulis kutipan di atasnya 'Apa yang saya lakukan hari ini adalah penting, karena saya tidak akan pernah memiliki hari itu lagi', kemudian ia pergi.

Aku duduk tertegun. Aku tiba-tiba teringat apa yang penting bagiku. Sementara pekerjaanku memang penting, tapi aku menyadari bahwa anak-anakku lebih penting. Aku juga menyadari bahwa waktu bagiku adalah penting. Waktu itu pukul 16.30, jam resmi kantor tutup. Aku membenahi meja, merasakan rasa bersalah, tapi aku memaksakan pulang. Aku tiba di rumah pukul 17.00. Anak-anak dan suamiku terkejut. Aku benar-benar memiliki malam yang indah. Bukan hanya membaca cerita sebelum tidur saja buat anak-anak."

Mirna menatap temannya serius dan kemudian menanyakan tentang pekerjaan Maya yang ditinggalkannya di meja.

Maya menjawab, "Aku tidak pernah memikirkannya, tapi aku benar-benar mengerjakannya pada hari berikutnya hingga beberapa pekan. Ketika keesokan harinya aku ke kantor, aku mengucapkan terima kasih pada bosku atas kutipan yang diberikannya. Ia bercerita tentang nasihat ayahnya yang telah memberinya bertahun-tahun lalu ketika ia selalu sibuk bekerja siang dan malam. Ia menyebutnya sebagai 'keseimbangan hidup'. Ayahnya menyuruhnya untuk menjaga keseimbangan dalam karanya, dalam kehidupan keluarga, dan dalam waktu untuk dirinya sendiri. Ia menjelaskan kepadaku, meski semua aspek kehidupan kita penting, namun tanpa keseimbangan, engkau menjadi kecanduan, dan seperti semua kecanduan, kau pun akan kehilangan.

-  Tidak ada keseimbangan dengan keluarga, kau pun akan kehilangan mereka.

-  Tidak ada keseimbangan dalam pekerjaan, maka kau akan kehilangan pandangan dan kehilangan fokus pada aspek-aspek penting dari pekerjaan

-  Tidak ada keseimbangan dengan diri sendiri, maka kau pun akan lupa siapa dirimu dan ketika pensiun malah tidak memiliki apa-apa. Lebih buruk lagi, jika kehilangan pekerjaan, kau pun akan kehilangan identitas.

Ia pun melanjutkan untuk memberitahuku bahwa siapa kita bukanlah apa yang kita lakukan untuk mencari nafkah. Siapa kita adalah keseimbangan dari keluarga kita, pekerjaan kita, dan diri kita sendiri. Itu benar-benar nasihat terbaik yang pernah kuterima!"

Sambil menyeruput tehnya,  Mirna bertanya, "Tapi aku kan tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku pada pukul 4.30!"

Maya tampak serius padanya, "Ketika kau bekerja pada hari Senin, lihat apa yang ada di meja. Buatlah daftar segala sesuatu yang harus dilakukan dan dampaknya bila tidak dilakukan. Fokuslah pada tiga poin yang paling penting. Lakukan itu setiap hari selama seminggu. Setelah beberapa saat, kau akan lebih fokus pada pekerjaan karena memiliki keseimbangan. Ada kalanya kita bisa kehilangan keseimbangan, tapi secara sadar fokus pada keseimbangan dengan selalu mengecek."

Mirna tersenyum pada temannya, "Terima kasih dengan obrolannya. Kita berteman telah lama. Aku bersyukur punya keseimbangan dengan persahabatanmu. Kau telah meyakinkanku. Aku akan meninggalkan pekerjaan di tasku setiap akhir pekan. Dan pada hari Senin, aku akan membuat daftar hal pertama. Mungkin pekan depan, kita bisa bermain golf bersama."
BPA

Monday, February 10, 2014

Seseorang Yang Harus di Hukum Gantung 2x

Cerita yang sangat memotivasi hari ini:
Pada masa kekuasaan Tsar Nicolas I di kekaisaran Rusia, pecah sebuah pemberontakan yang dipimpin seorang bernama Kondraty Ryleyev. Namun, pemberontakan itu berhasil ditumpas. Ryleyev, sang pemimpin, ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung.

Namun saat tali sudah diikatkan di lehernya dan eksekusi dilaksanakan, tiba-tiba tali gantungan itu putus. Di masa itu, kejadian luar biasa seperti itu biasanya dianggap sebagai bukti bahwa terhukum tidak bersalah dan Tsar mengampuninya.

Ryleyev yang lega dan merasa di atas angin pun menggunakan kesempatan itu untuk mengkritik, "Lihat, di pemerintahan ini sama sekali tidak ada yang betul. Bahkan, membuat talipun tidak becus!"

Seorang pembawa pesan yang melihat peristiwa putusnya tali ini kemudian melaporkan pada Tsar. Sang penguasa Rusia itu bertanya, "Lalu, apa yang Ryleyev katakan?"

Ketika pembawa pesan itu menceritakan komentar Ryleyev di atas, Tsar pun menjawab, "Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa ucapannya tidak benar."

Ryleyev pun menjalani hukuman gantung kedua kalinya dan kali ini tali gantungannya tidak putus. Bukan hukuman yang membinasakannya, tapi ucapannya sendiri.

Lidah itu seperti kekang kuda, kemudi sebuah kapal, yang hanya benda kecil tapi bisa mengendalikan benda raksasa. Lidah dapat menjadi seperti api kecil di tengah hutan, bahkan lebih buas dari segala hewan liar.

Apa yang kita ucapkan sangat sering menentukan arah hidup kita. Apa saja yang kita ucapkan pada orang lain dan pada diri sendiri sangat berpengaruh terhadap kejadian-kejadian yang akan kita alami kemudian.

Apa yang kita ucapkan seringkali menentukan apa yang kemudian kita terima. Karena itu jagalah lidah kita agar tidak berucap sembarangan
BPA

Thursday, February 6, 2014

Anak Anak Harus Bermain

Suatu ketika Konfusius mendengar tentang seorang anak yang sangat cerdas di suatu desa. Bersama pada murid, Konfusius mendatangi anak itu dan bertanya sambil bercanda, "Nak, kalau engkau ingin membantu saya memperbaiki semua penyimpangan dan ketimpangan di dunia, bagaimana caranya?"

Si anak pun menjawab, "Jika kita meratakan gunung-gunung, burung-burung tidak akan memiliki tempat berlindung. Jika kita mengisi penuh sungai-sungai yang dalam dan laut, ikan-ikan malah akan mati."

Para murid sangat terkesan dengan pandangan bijaksana anak itu, kemudian mereka pergi. Tapi Konfusius berkata, "Aku sudah tahu banyak tentang anak-anak. Anak ini bukannya bermain dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan usianya, tapi malah mencoba memahami dunia."

Konfusius melanjutkan, "Kalau seorang anak terlalu keras berpikir untuk memahami dunia sehingga melewatkan keluguan dan masa-masa bermain, ia akan menjadi dewasa sebelum waktunya. Karena itu, ia tidak akan bisa melakukan sesuatu yang besar dan penting di masa depan."
BPA

Tuesday, February 4, 2014

Kepastian Dan Keraguan

Cerita motivasi hari ini:
Sang Buddha berkumpul dengan murid-muridnya pada suatu pagi, ketika seorang pria datang kepadanya.

"Apakah Tuhan itu ada?" tanya pria itu.

"Ya," jawab Buddha.

Setelah makan siang, seorang pria lain datang kepadanya.

"Apakah Tuhan itu ada?" tanya pria itu.

"Tidak, dia tidak ada," kata Buddha.

Sore itu, orang ketika bertanya dengan pertanyaan yang sama, "Apakah Tuhan itu Anda."

Buddha menjawab, "Silakan Anda memutuskan."

Begitu pria itu pergi, seorang muridnya berkata dengan marah, "Tapi itu tidak masuk akal, Guru! Bagaimana mungkin Anda bisa memberikan jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan yang sama?"

"Karena mereka semua orang yang berbeda, dan masing-masing dari mereka akan mencapai Tuhan dengan jalannya sendiri. Orang pertama akan percaya dengan apa yang saya katakan. Yang kedua akan melakukan semua yang dia bisa untuk membuktikan bahwa saya salah. Dan yang ketiga, hanya akan percaya pada apa yang diperbolehkan untuk memilih bagi dirinya sendiri."
BPA

Saturday, February 1, 2014

Kenapa Saya Bangga Dengan anak Pertama Saya

Seorang pemuda terpelajar sedang berpergian dengan pesawat menuju Jakarta. Di samping pemuda tersebut, duduk seorang ibu yang sudah berumur. Setelah berkenalan, mereka pun terlibat dalam obrolan ringan.

Pemuda tersebut bertanya, "Ibu, ada keperluan apa ke Jakarta?"

"Saya ke Jakarta untuk transit ke Singapura, hendak mengunjungi anak kedua saya," jawab si Ibu.

"Wah, hebat sekali putra Ibu." Pemuda itu kemudian berpikir. Karena penasaran, pemuda tadi melanjutkan pertanyaannya, "Tadi Ibu bilang, anak yang di Singapura itu anak kedua ya? Bagaimana dengan kakak dan adik-adiknya?"

Ibu tersebut mulai bercerita, "Anak ketika saya seorang dokter, yang keempat seorang insinyur, anak kelima seorang arsitek, anak keenam seorang manajer di sebuah bank, dan anak ketujuh seorang pengusaha di Surabaya."

Pemuda tadi terdiam, hebat sekali ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik. Dari anak kedua sampai ketujuh telah menjadi orang sukses.

Si pemuda tadi pun bertanya lagi, "Lalu, bagaimana dengan anak Ibu yang pertama?"

Sambil menghela napas panjang, Ibu itu menjawab, "Anak saya yang perama seorang petani di Yogya."

Pemuda tadi langsung menyahut, "Maaf ya Bu, jika Ibu kecewa dengan anak pertama Ibu. Adik-adiknya berpendidikan tinggi dan telah menjadi orang sukses. Sedangkan ia hanya seorang petani."

Sambil tersenyum, Ibu itu menjawab, "Tidak begitu Nak, saya justru merasa sangat bangga dengan anak pertama saya. Karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya."

Hal yang paling penting adalah bukan siapakah kita, tetapi apa yang sudah kita lakukan
BPA