Tuesday, July 30, 2013

Hidup Untuk Saling Melengkapi

Ada seorang tua yang tinggal di sebuah desa pada lereng pegunungan. Orang tua tersebut sudah lama bekerja sebagai penjaga kebersihan, yang dibayar oleh Pemerintah setempat. Tugasnya adalah membersihkan dedaunan dan kotoran dari mata air serta sungai-sungai yang mengalir di desanya. Dengan setia dan tanpa banyak bicara, ia berpatroli di bukit-bukit, membuang daun, ranting, dan cabang-cabang pohon, serta lumpur yang menghambat aliran air.

Lama-kelamaan, desa itu menjadi tempat yang dikenal banyak orang dan menjadi salah satu tempat tujuan wisata. Angsa yang anggun berenang di aliran sugai bening, tanah pertanian dengan irigasi alamiah, barbagai tempat usaha dan restoran, serta lampu-lampu aneka warna, semakin memperindah pemandangan desa tersebut.

Tahun demi tahun pun berlalu, Di suatu sore pemerintah desa tersebut mengadakan rapat tahunan. Ketika mereka meninjau kembali pengeluaran selama ini, salah seorang memperhatikan adanya uang yang dibayarkan untuk seorang penjaga kebersihan.

"Siapa orang ini? Mengapa kita terus membayarnya dari tahun ke tahun? Kita pun tidak pernah melihat dia melakukan pekerjaannya, bukan? Kita rasa kita sudah tidak lagi memerlukannya," kata salah satu anggota di rapat itu. Maka mereka semua yang hadir pun sepakat untuk tidak lagi mempekerjakan orang tua tersebut.

Selama beberapa minggu, tidak ada sesuatu yang berubah. Namun menginjak satu bulan setelah orang tua itu tidak lagi di izinkan bekerja oleh pemerintah desa, mulai terlihatlah dedaunan di sana sini, ranting-ranting yang berjatuhan dan kemudian mulai menghambat aliran air.

Air sungai yang tadinya sangat bening, kini mulai tampak keruh. Hingga pada akhirnya mulai juga tercium bau tidak sedap dari aliran air tersebut. Angsa-angsa indah yang tadinya berenang riang gembira di sungai itu, kini telah pergi. Sampai akhirnya berbagai penyakit pun melanda desa karena kebersihan tidak diperhatikan seperti dahulu.

Menyadari keputusan mereka yang salah beberapa waktu lalu, akhirnya Pemerintah desa kembali memanggil dan mempekerjakan orang tua penjaga kebersihan itu. Dalam waktu beberapa minggu, air sungai menjadi bersih kembali, dan segalanya berjalan lancar seperti sedia kala. Warga desa pun bergembira dan terlihat sukacita serta damai sejahtera memenuhi hati mereka, tatkala mereka melihat desa mereka menjadi bersih kembali.

Terkadang kita terlalu cepat dan salah dalam menduga, serta gegabah dalam bertindak. Ada orang-orang yang kita pandang tidak begitu penting kehadirannya dan apa yang dikerjakannya. Mungkin kita juga sering merendahkan seseorang dengan berkata, "Tanpa kamu pun saya bisa melakukan dan mengerjakannya sendiri. Tanpa kamu pun segalanya tetap akan berjalan dengan baik." Apakah dengan meremehkan pekerjaan seseorang, lantas kita dapat melakukannya lebih baik? Sekalipun tidak. Sudah seharusnya kita dapat mencontoh teladan yang diberikan kepada kita.

Kita dapat belajar untuk senantiasa menghargai setiap orang dan apa yang sudah mereka lakukan. Masing-masing dari setiap pribadi kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itulah kita saling melengkapi.

Sumber:Intisari-Online.com

Wednesday, July 17, 2013

Apa Makna Hidup Kita?

"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain." (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa ketika orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Namun banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Akan tetapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Sayangnya tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Namun dua tahun berlalu, bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, "Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis." Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa- apa?

Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Akan tetapi ada bahayanya. Orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang. Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Akan tetapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.

Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. "Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya ...," katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.

Dokter itu memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan, "Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?"

Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!

Sumber: intisari-online.com

Sunday, July 14, 2013

Ini bukan masalah warna...

Ada seorang penjual balon yang menjual balonnya dengan warna yang adil. Ia memiliki semua warna balon, merah, kuning, hijau, biru, dll. Setiap kali sepi penjual, maka ia akan mengisi balonnya dengan helium sehingga melayang ke udara. Ini membuat anak-anak yang melihat balonnya berhamburan datang untuk membeli balon. Akhirnya penjualannya pun akan meningkat lagi.

Ia melanjutkan proses tersebut sepanjang hari. Suatu hari, ia merasa sesuatu menarik-narik jaketnya. Ia berbalik dan melihat seorang anak kecil yang bertanya padanya, "Jika Anda melepaskan balon hitam, apakah akan terbang juga?" Tergerak oleh perhatian anak itu, penjual balon menjawab dengan empati, "Nak, itu bukan masalah warna balon, tapi apa yang di dalamnya yang membuatnya terbang."

Hal yang sama berlaku untuk kehidupan kita. Apa yang ada di dalam itu yang penting. Sesuatu yang ada di dalam diri kita "naik" adalah sikap kita. (*)
Sumber: intisari-online.com

Berpikir Out Of The Box

Kisah ini terjadi ratusan tahun lalu di sebuah kota kecil Italia. Seorang saudagar mengalami nasib sial karena sejumlah besar uang diberikan kepada lintah darat. Para rentenir, yang tua dan jelek, menyukai putri saudagar itu sehingga ia menawarnya. Ia mengatakan akan melupakan utang saudagar itu jika ia bisa menikahi putrinya. Saudagar dan putrinya terkejut dengan penawaran mengerikan dari rentenir itu.

Rentenir mengatakan kepada mereka bahwa ia akan menempatkan kerikil hitam dan kerikil putih ke dalam kantong kosong. Gadis itu kemudian harus memilih satu kerikil dari dalam kantong. Jika ia memilih kerikil hitam, ia harus menjadi istri rentenir itu dan hutang ayahnya akan dihapuskan. Jika ia memilih kerikil putih, ia tidak perlu menikah dengannya dan hutang ayahnya masih akan dihapuskan. Tetapi jika ia menolak untuk mengambil kerikil, ayahnya akan dilemparkan ke dalam penjara.

Mereka berdiri di jalan di sebuah taman dengan kerikil bertebaran. Ketika mereka berbicara, rentenir itu membungkuk untuk mengambil dua kerikil. Saat ia mengambilnya, gadis bermata tajam itu melihat bahwa rentenir telah mengambil dua kerikil hitam dan memasukkannya ke dalam kantong. Ia kemudian meminta gadis itu untuk memilih kerikil dari dalam kantong.

Apa yang akan Anda lakukan jika menjadi gadis itu? Jika Anda harus menasihati gadis itu, apa yang akan Anda nasihatkan? Analisis yang cermat akan menghasilkan tiga kemungkinan: gadis itu harus menolak mengambil kerikil, gadis itu akan menunjukkan bahwa ada dua kerikil hitam dalam kantong dan memberitahu bahwa rentenir itu penipu, serta gadis itu memilih kerikil hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang dan penjara.

Gadis itu menaruh tangannya ke dalam kantong dan menarik keluar sebuah kerikil. Tanpa melihat kerikil itu, ia meraba-raba dan membiarkannya jatuh ke jalan berkerikil. Segera saja kerikil itu berbaur dengan kerikil lainnya.

"Oh, betapa cerobohnya aku," katanya. "Tapi sudahlah. Jika Anda melihat ke dalam kantong kerikil apa yang tersisa, maka Anda akan tahu kerikil mana yang sudah saya pilih." Karena kerikil yang tersisa adalah hitam, maka diasumsikan bahwa gadis itu telah memilih kerikil putih. Dan karena rentenir itu tidak berani mengakui ketidakjujurannya, gadis itu mengubah situasi yang tidak mungkin menjadi menguntungkan baginya.

Sebagian besar masalah yang kompleks mempunyai solusi, terkadang kita harus berpikir tentang itu dengan cara yang berbeda. Sudahkah Anda melakukan hal yang demikian?

Source:intisari-online.com

Tuesday, July 9, 2013

Kesempatan ada di sekitar Kita

Ada seorang petani di Afrika yang selalu bahagia dan puas. Ia senang karena segalanya sudah ia miliki. Ia puas karena ia senang. Suatu hari seorang bijak datang kepadanya dan menceritakan tentang kemuliaan berlian dan kekuatan yang ada padanya. Orang bijak itu mengatakan, "Jika Kau memiliki berlian seukuran ibu jari, maka Kau akan memiliki kotamu. Jika Engkau memiliki berlian sebesar kepalan tangan, bisa jadi negara pun akan kau miliki." Kemudian orang bijak itu pun pergi.

Malam itu sang petani tidak bisa tidur. Ia tidak bahagia dan ia tidak puas. Ia sedih karena ketidakpuasannya, ketidakpuasan karena ia tidak senang. Keesokan harinya ia membuat persiapan untuk menjual ladangnya, memberitahu keluarganya dan pergi mencari berlian.

Ia telah berkeliling ke berbagai tempat namun tidak satupun berlian ia temukan. Tenaganya baik secara emosional, fisik dan finansial pun terkuras. Sampai akhirnya ia kecewa dan bunuh diri menceburkan ke laut.

Di ladang yang telah dijualnya, orang yang telah membeli ladangnya sedang menyiram unta di sebuah sungai yang mengalir melalui pertanian. Di seberang sungai, sinar matahari pagi menghantam batu dan membuatnya berkilau seperti pelangi. Ia mengambil batu itu dan meletakkannya di ruang tamu.

Sore itu orang bijak datang dan melihat batu berkilau itu. Ia bertanya, "Apakah petani itu kembali?" Pemilik ladang baru itu mengatakan, "Tidak, mengapa kau bertanya?" Orang bijak itu menjawab, "Karena itu adalah berlian. Aku mengatakannya karena aku pernah melihatnya." Pemilik ladang itu berkata, "Tidak, itu hanya batu yang aku ambil dari sungai. Ayolah, aku tunjukkan. Masih banyak lagi di sungai."

Mereka pergi dan mengambil beberapa batu untuk dikirimkan dan dianalisis. Benar saja, batu-batu itu adalah berlian. Mereka menemukan bahwa di bawah pertanian tersebut terdapat berhektar-hektar batu berlian.

Moral dari cerita ini bahwa peluang selalu ada di dekat kita. Kita tidak perlu pergi ke manapun, asalkan kita mengenalinya. Terkadang rumput tetangga kita pandang lebih bijau. Sementara kita menikmati rumput tetangga, ada orang lain yang menikmati rumput di tempat kita. Mereka dengan senang hati bertukar tempat dengan kita. Kenalilah kesempatan yang ada di sekitar kita

Sumber:intisari-online.com

Kesempatan ada di sekitar Kita

Saturday, July 6, 2013

Kisah Tentang Keserakahan

Ada sebuah kisah tentang seorang petani kaya yang ditawari semua tanah yang bisa ia kerjakan dalam satu hari. Ia harus kembali ke titik awal di mana ia memulai, sebelum matahari terbenam. Untuk mendapatkan awal yang baru, pagi harinya petani itu mulai menggarap tanah, karena ia ingin mendapatkan banyak lahan yang ia bisa kerjakan. Meskipun ia lelah, ia terus bekerja sepanjang hari karena ia tidak ingin kehilangan ini. Ia merasa ini kesempatan dalam hidupnya untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan.

Sore itu ia menyadari bahwa ia harus kembali ke titik awal sebelum matahari terbenam. Namun rupanya petani itu cukup serakah. Ia mulai menggarap kembali, mengawasi seberapa dekat dirinya dengan titik awal tadi. Akhirnya ia berlari, mendekati matahari terbenam. Namun, rasanya ia semakin berlari jauh tidak berhasil sampai ke titik awal. Ia kelelahan, kehabisan napas dan melampaui batas kemampuan tubuhnya. Petani itu pun ambruk setelah mencapai titik awal. Ia pun meninggal karena kelelahan, sebelum matahari terbenam. Akhirnya ia dimakamkan di sebidang kecil tanah, jauh lebih lebih kecil dibanding luas tanah yang dia perjuangkan sebelumnya.

Apakah petani itu kaya atau tidak? Ah, ternyata setiap orang serakah akan berakhir dengan cara yang sama. (*)

Source: intisari-online.com

Thursday, July 4, 2013

Meniru Kesabaran dari Kembang Sepatu

Pada suatu masa di sebuah desa, seorang ibu sedang menunggu kedatangan puterinya yang bekerja di kota. Ibu itu adalah seorang wanita janda yang telah kehilangan suaminya karena sakit. Seminggu sekali putrinya menengok dia sambil membawa uang belanja. Sekalipun puterinya bekerja, kehidupan ekonomi mereka tak kunjung membaik.

Saat malam menjelang, puterinya tiba dengan wajah yang sangat lelah dan tampak gusar. Melihat wajah yang tidak biasa itu, sang ibu bertanya, "Anakku, ada apa? Mengapa wajahmu tampak sedih dan gusar?"

Anak perempuan itu menghela napas panjang lalu menjawab, "Ibu, aku lelah sekali. Aku tidak habis pikir mengapa hidupku sangat malang. Aku selalu bekerja keras, selalu menunjukkan apa yang aku bisa. Aku bahkan selalu mengorbankan banyak hal untuk pekerjaanku. Namun tidak ada yang memuji pekerjaanku. Mereka bahkan sering mengejek dan mengatakan aku tidak akan bisa mencapai hasil terbaik dalam pekerjaanku," dua tetes air mata mengalir di pipi anak perempuan itu.

Sang ibu mengusap rambut anak perempuannya dengan sayang. "Anakku, jangan pernah mengharap orang lain untuk selalu memuji apa yang sedang engkau kerjakan."

"Maksud ibu?" tanya sang anak tak mengerti.

"Coba kau lihat bunga sepatu yang tumbuh di halaman belakang rumah kita. Dulu, saat kau masih kecil, tidak ada yang menanam pohon itu. Tiba-tiba dia tumbuh dan semua orang membiarkannya tumbuh tanpa memberi pupuk atau menyiram." ujar si ibu.

Anak perempuannya hanya mendengarkan.

"Tidak ada yang peduli pada bunga sepatu itu, hingga pada masa dia berbunga, semua orang akan mengagumi betapa indah kelopak-kelopaknya. Bahkan tidak sedikit yang berebut untuk memetiknya," lanjut si ibu sambil tersenyum.

"Anakku, orang lain mungkin tidak peduli dengan apa yang kamu kerjakan sekarang, tetapi jangan menyerah dan selalu berikan yang terbaik, seperti yang dilakukan bunga sepatu. Dia selalu bersabar dan memberikan yang terbaik sekalipun orang-orang tidak peduli padanya."

Anak perempuan itu langsung memeluk ibunya sambil menangis karena telah merasa keliru dan menyesal telah menangisi kesabaran dan kerja keras yang sudah dia lakukan.

"Aku berjanji akan memberikan yang terbaik," ujarnya.

Sumber: Intisari-online.com