Thursday, August 25, 2011

Inspirasi - Belajar Dari Smurf

Saya ingat, komik Smurf adalah salah satu bacaan saya ketika kecil. The Smurfs atau yang dalam bahasa Perancisnya Les Schtroumpfs, merupakan karya kreatif dari kartunis bernama Peyo (yang nama aslinya adalah Pierre Culliford). Pertama kali The Smurfs ini diperkenalkan pada tanggal 23 Oktober 1958.  Bersama dengan Tintin, Lima Sekawan, dan banyak buku di masa itu,  dia memenuhi rak buku keluarga kami. Walaupun sebetulnya saya yakin, masih banyak yang lebih Smurf-mania daripada saya, tetapi karena menonton filmnya kemarin, saya koq jadi bernostalgia sekaligus ingin memetik pelajaran dari film tersebut juga, ya…

 

Yang saya ingat, Smurf adalah makhluk kecil setinggi tiga buah apel, tinggal di Desa Smurf yang aman dan tenteram. Penghuninya pun macam-macam dengan keunikannya masing-masing. Ada yang centil tukang berhias, gembul yang tukang makan, ‘clumsy’ Si Ceroboh yang jadi pemeran utama di film The Smurf dari awal sampai akhir. Papa Smurf dan Smurfin, juga Smurf yang intelek dan pandai yang mengetahui segala sesuatu. Ah, melihat desa Smurf, seolah melihat kehidupan manusia sendiri. Tentunya tiap dari kita punya sifat-sifat yang menonjol, walaupun tidak sama persis seperti Smurf…

 

Membaca kisahnya pun sering membuat tersenyum. Karena harus berasumsi juga dengan kata-kata smurf. Misalnya aku mau smurf roti. Smurf di sini berarti makan, tetapi tidak di kalimat lain. Dan isi film ini, saya ceritakan singkat saja, karena kasihan yang belum nonton hehe… Intinya adalah para smurf ini masuk ke dunia manusia dan bertemu dengan keluarga Winslow yang tengah menunggu kehadiran bayi mereka. Patrick dan Grace Winslow (yang diperankan oleh Neil Patrick Harris yang terkenal dengan serial ‘How I Met Your Mother’, sementara Grace diperankan oleh Jayma Mays yang terkenal sebagai Emma di serial ‘Glee’), kedatangan tamu yaitu para smurf itu. Ada bagian yang kocak, ada bagian yang bikin terharu. Ketika Papa Smurf ditangkap Gargamel, seorang anggota Smurf berhasil mendatangkan seluruh penghuni desa Smurf yang kemudian bersatu-padu untuk sesama mereka. Kesatuan yang erat yang mungkin semakin hari semakin luntur di masa kini. Terhapus oleh materialisme, mementingkan diri sendiri, jadi semakin berkurang tali silaturahmi yang baik.

 

Smurf juga makhluk yang lucu, ceria, dan suka bernyanyi. Mungkin, kecuali Smurf Gerutu. Lalu, aku koq teringat, tak jarang, berlaku sebagai Smurf Gerutu juga, yang seringnya ngomelll melulu…Ampun, dah… Hahaha… Ini saatnya jadi lebih ceria, lebih sukacita dalam menjalani kehidupan kita.

 

Film yang akhirnya happy-ending ini, kemudian saya putar ulang di kepala saya, di hati saya. Walau terpotong dua kali karena membawa anak sulung kami ke toilet, saya tetap menemukan kebaikan dan pembelajaran di dalamnya. Smurf itu ceria, bersahabat, dan selalu saling membantu. Jika bisa menghidupkan sifat-sifat baiknya di dunia yang kita tinggali sekarang ini, alangkah bahagianya. Kenapa kita tidak coba dari sekarang?

 

 

-Fonny Jodikin-

* tautannya ada di: http://fjodikin.blogspot.com/2011/08/belajar-dari-smurf.html

 

Inspirasi - The Voice

Setelah agak bosan dengan American Idol yang sudah mencapai season 10 di tahun ini dan menghasilkan pemenangnya Scotty McCreery yang ber-genre country, ada tayangan lain masih di bidang musik yang cukup menarik hati saya. Adalah The Voice, yang sudah menghasilkan pemenangnya di Amerika sana, dan baru tayang perdana di stasiun televisi AXN semalam. Saya tertarik dengan konsep yang ditawar...kan, yaitu saat para juri yang terdiri dari Christina Aguilera yang cukup ternama, Blake Shelton (penyanyi country dengan banyak fans), Adam Levine-vokalis Maroon 5, dan Cee Lo Green (anggota group Hip Hop Goodie Mobb di tahun 1990-an) mendengarkan suara para kontestan untuk pertama kalinya tanpa memandang wajah/penampilan mereka (blind audition). Hanya murni suara mereka saja yang didengar. Berbeda dengan ajang nyanyi lainnya, penampilan juga menjadi sesuatu yang utama. Bisa jadi si kontestan berwajah cantik/tampan, namun kemampuan nyanyinya biasa-biasa saja. Berbeda dengan tayangan ini, jika para juri yang kemudian menjadi pelatih para kontestan ini (Coach) tertarik barulah mereka memencet bel yang otomatis membalikkan kursi mereka dan memungkinkan mereka melihat penampilan Sang Kontestan tersebut secara keseluruhan.

Menarik bagi saya untuk kemudian membandingkan dengan kehidupan kita. Berapa banyak dari kita yang bisa menilai seseorang murni hanya dari kelebihannya saja? Misalnya: kebaikan hatinya. Jarang ya, jujur saya pun tidak selalu bisa melakukannya. Setiap kali kita berhadapan dengan seseorang, sebelum melihat hatinya, tak jarang kita terlanjur memberikan penilaian terhadap keseluruhan paketnya. Mungkin wajahnya, mungkin cara bicaranya, mungkin dandanannya, mungkin merek yang dikenakannya, mungkin rambutnya, mungkin handphone ataupun gadget-nya, mungkin harta atau jabatannya, mungkin dan seribu satu mungkin lainnya. Jarang, kita bisa langsung melihat seseorang dari hatinya, bahkan boleh dikatakan hampir tidak mungkin. Segala sesuatu yang menjadikan seseorang sebagai satu paket, kita perhatikan semuanya. Dan apabila ternyata diri kita yang dihakimi sedemikian rupa oleh orang lain, rasanya mudah bagi kita untuk kemudian menjadi tersinggung atau tidak suka. Padahal, ya…kita lakukan hal yang sama terhadap orang lain.

Blind audition dari The Voice ini, mengajak saya berpikir untuk lebih objektif dalam memberikan penilaian terhadap seseorang. Karena jika saya yang dinilai secara subjektif, ternyata saya pun tidak suka. Maka adalah baik pula jika saya belajar untuk tidak sok tahu apalagi langsung menilai buruk ketika pertama kali berjumpa dengan seseorang. Biarkan mengalir saja dan terlihat suatu kebaikan di dalam hati seseorang yang pasti dimiliki olehnya, daripada terlanjur menghakimi ini dan itu, bahkan memendam rasa tidak suka. Tentunya, ini bukanlah hal yang mudah dan langsung bisa dipraktekkan begitu saja. Tetapi, apabila saya bisa belajar lebih objektif, akan baik pula buat diri saya.

Tuhan sendiri selalu menilai kita secara objektif. Dia yang tahu isi hati kita… Bukan melulu pada tas yang saya pakai, sepatu, baju dari butik/ disainer ternama atau baju dari pasar sebelah, rambut yang ditata salon terkemuka atau salon murahan. Bukan pula pada kekurangan yang saya miliki, tetapi kebaikan yang pastinya ada pada diri setiap manusia.

The Voice baru mulai tayang semalam di Asia dan saya kira, tak ada salahnya kita pun mulai belajar untuk lebih objektif dan tidak segera menilai seseorang berdasarkan kekurangannya semata.
Ah, saya jadi malu, karena terkadang terlanjur menilai negatif seseorang sebegitu gampangnya. Saya mau belajar lebih baik lagi. Tuhan, ajari saya, terima kasih.


@Copyright Fonny Jodikin
*copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.
*tautannya ada di: http://fjodikin.blogspot.com/2011/08/voice.html

 

Monday, August 8, 2011

Inspirasi - 8 Cara Belajar

Sering orang beranggapan bahwa masa belajar selesai ketika sudah bekerja. Mereka berhenti belajar sekalipun hanya lulus SMA. Padahal seharusnya belajar harus terus kita lakukan selama hidup. Selama kita mampu. Tak melihat umur. Karena dengan belajar kita terus dapat mengembangkan diri, mendapatkan ketrampilan baru, mendapatkan cara yang lebih baik untuk berkarya atau pengetahuan yang luas.

 

Sekolah bisa selesai, pemberlajaran tidak boleh berhenti. Disini saya mencoba berbagi 8 cara yang dapat dilakukan untuk tetap selalu belajar.

 

Yang pertama, dan ini yang paling saya sukai, adalah membaca. Tidak semua orang suka membaca, tapi kebetulan saya suka membaca. Bagi yang suka membaca cobalah membaca buku sebanyak-banyaknya yang bisa membuat anda ahli di bidang tertentu. Jangan hanya membaca komik atau yang memberi hiburan saja seperti majalah. Tapi juga membaca sesuatu yang lebih berbobot yang berguna untuk kehidupan bisnis anda.

 

Yang kedua, melakukan surfing di internet. Ceklah hal-hal yang membantu anda menjadi "lebih" ahli dalam berbisnis. Kalau anda seorang sales mencari pengetahuan penjualan yang baik. Kalau anda profesinya akuntansi carilah tentang metode akuntansi yang baik. Dan hebatnya di internet, apapun ada di sana.

 

Yang ketiga belilah audiobook. Ada buku dalam format audio, ada motivasi dalam bentuk audio. Kalau mau repot bisa diubah ke format mp3 sehingga bisa dimasukkan ke ipod. Dengan audio ini kita bisa mendengarkan sambil melakukan kegiatan lain, misal di jalan atau di mobil. Sehingga bila menganggur, misalkan sedang menunggu di bandara, bisa mendengarkan audio untuk memperkaya kemampuan anda.

 

Yang keempat yakni sekolah lagi. Entah di kursusan, sekolah singkat sabtu-minggu, sekolah 2 kali seminggu, atau bisa mengambil MBA selama 2 tahun.

 

Yang kelima, tanyalah pada yang ahli di bidang itu. Anda ingin mempelajari sesuatu tanyalah pada orang itu baik melalui email atau ketemu langsung. Ber diskusi dengan orang ahli akan memberikan masukan yang sangat berguna pada bisnis anda.

 

Yang keenam, ikutlah perkumpulan tertentu khususnya yang sesuai dengan bidang minat anda. Asosiasi Komputer, Perkumpulan Toastmasters, Rotary Club, Pertemuan para penyair, dan seterusnya.

 

Yang ketujuh, bersahabatlah dengan orang yang lebih pandai dari anda. Anda akan ketularan ilmu darinya sehingga ikut menjadi lebih pandai dan mengikuti apa yang telah dipelajari oleh orang itu.

 

Yang kedelapan belajarlah dari atasan, pimpinan, atay Bos anda. Pemilik perusahaan anda atau pimpinan anda bisa sukses karena sesuatu kemampuan mereka. Pasti banyak yang dapat anda pelajari darinya.

 

Itulah 8 hal yang dapat anda kembangkan untuk membuat anda menjadi seorang pembelajar yang baik dan nantinya akan menjadi orang yang lebih sukses dalam hidup ini. Selamat Belajar.

 

 

Ditulis oleh Tanadi Santoso

 

Inspirasi - Jangan bermain 'complain game'

Dimana saja saya pernah tinggal, saya perhatikan bagaimana sebagian orang senang mengeluh tentang lingkungan mereka. Hal ini menjadi seperti olahraga favorit. Cuaca terlalu dingin atau terlalu panas. Sistem sekolah jelek atau tidak ada restoran yang enak. Terlalu ramai atau tidak ada yg bisa dilakukan, atau orang terlalu picik.

Pekerjaan seseorang merupakan target favorit. Sebagian orang meningkatkan keluhan terhadap pekerjaan mereka menjadi suatu bentuk seni. Sebagai tentara, saya dan teman saya dapat duduk bersama dan berusaha mengungguli satu sama lain tentang bagaimana tidak efisiennya birokrasi sekarang atau tugas yang tidak masuk akal atau petugas yang otaknya tidak berfungsi. Kami dapat mengobrol tentang bagaimana enaknya untuk kembali ke dunia nyata. Saya pikir kami merasa lebih baik ketika menjelek-jelekkan orang yang mengatur kehidupan kami. (Mungkin ini menjelaskan kenapa anak-anak kita banyak sekali mengeluh tentang kita orangtuanya).

Masalahnya adalah, ketika kita terlalu banyak mengeluh, kita menciptakan budaya yang kelam dan akhirnya merasa seperti tahanan. Saya ingat sebuah kartun dimana seorang tahanan berdiri dikelilingi jeruji penjara. Lalu seorang berjalan melewati jeruji itu sementara tahanan itu melihatnya. Kita dapat menciptakan penjara kita sendiri yang tidak terlihat bagi orang lain, atau seperti yang ditulis Richard Lovelace, “ Stone walls do not a prison make, nor iron bars a cage (Bukan dinding batu yang menjadikan sebuah penjara, atau jeruji besi yang menjadikan kandang)” 

Beberapa pasangan mengatakan pada saya bahwa pernikahan mereka akan menjadi lebih baik jika saja mereka bisa pindah ke kota besar. Orang yang lain mengatakan mereka akan lebih senang jika mereka memiliki pekerjaan yang lebih baik atau jika saja atasan mereka berlaku berbeda. Seperti kebanyakan dari kita, orang-orang ini membangun realitas “if only (jika saja)” yang membuat mereka tidak bahagia. 

Kita perlu mengurangi keluhan kita dan mempertimbangkan efeknya terhadap kita dan keluarga kita. Tentu saja, tidak semua keluhan itu buruk. Bisa baik, misalnya, untuk anak kita melihat bagaimana kita mengidentifikasi kekhawatiran yang jelas dan melakukan sesuatu tentangnya. Juga baik bagi mereka untuk melihat kita berdiri menghadapi ketidakadilan atau kefanatikan. Bagaimanapun, kita perlu merasa yakin bahwa kita tidak menciptakan budaya mengeluh yang menyebar seperti virus komputer. Kita tidak mau anak-anak kita hanya melihat dunia yang rusak dan tidak bisa ditolerir. Kita tidak mau mereka belajar bahwa kebahagiaan mereka tergantung pada keadaan yang sempurna. Sebaliknya, kita ingin mereka tahu bahwa mereka bisa memilih untuk menjadi bahagia tanpa kota mereka atau sekolah mereka atau kehidupan mereka hanya dalam bentuk tertentu.

Ada sebuah cerita tua seperti ini. Suatu pasangan datang ke sebuah kota dan melihat seorang tua duduk di depan toko. 

“Kami dengar tempat ini merupakan tempat yang sangat bagus untuk tinggal dan orang-orangnya sangat bersahabat. Benarkah itu ?”

“Ya”, jawab orang tua itu. Pasangan ini tersenyum dan mulai menjelajahi lingkungan baru ini. 

Beberapa menit kemudian, pasangan yang lain datang.

“Kami dengar orang-orang di kota ini tidak bersahabat dan picik. Benarkah itu ?” Tanya mereka. 

“ya.” Jawab si orang tua. Pasangan ini mengangguk dan berjalan pergi. 

Intinya adalah, kedua pasangan ini mungkin benar. Mereka akan menemukan apa yang mereka harapkan untuk diketemukan. Kita juga, melihat apa yang kita harapkan untuk dilihat – tentang lingkungan kita, pekerjaan kita, keluarga kita. 

Untuk yakinnya, keadaan selalu bisa menjadi lebih baik. Kita perlu memutuskan apa yang dapat kita ubah di sekeliling kita dan apa yang harus kita terima. Apapun pilihannya, kita tidak perlu menjadi menderita. Tantangannya adalah untuk menjauhi diskusi “tidakkah itu buruk” yang menghasilnya negativitas dan ketidakbahagiaan. Sebaliknya, kita perlu fokus pada yang positif, melihat niat baik dari orang lain, dan jangan membiarkan setiap situasi menentukan kebahagiaan atau ketidakbahagiaan kita. Jika kita dapat melakukan ini, kita bisa menghindari gaya hidup penuh keluhan dan mulai menikmati dunia yang kita ingin tinggali. Dan anak-anak kita, sebagai gantinya, akan belajar ini dari kita. 

_____________________________________________________________________

Copyright, 1998

Fred P. Piercy

Translated with permission, 2010

 

sumber : http://www.facebook.com/marriage-rebuilders

 

Inspirasi - Sebelum kamu menceraikan aku, boponglah aku !

Pada hari pernikahanku,aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening. Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai di rumah juga pada waktu yang bersamaan.

 

Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam kehidupanku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di balkon dengan Dewi yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Ini adalah apartment yang kubelikan untuknya. Dewi berkata , “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.”  Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku.  Ketika kami baru menikah,istriku pernah berkata, “Pria sepertimu,begitu sukses,akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalo aku telah  menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya. Aku  melepaskan tangan Dewi dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.?.Aku ada sedikit urusan di kantor” Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya.

 

Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun,aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya,ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi. Ini adalah hiburan bagiku.

 

Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu  selama berbicara dengan ia. Ia kelihatan sedikit kecurigaan. Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dewi berkata padaku,” He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi.

 

Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, ku pegang tangannya,”Ada sesuatu yang harus kukatakan” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalo aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”,  kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.

Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara lembut,”kenapa?” Aku menghindari pertanyaannya “Kenapa” dan hanya jawab: “Aku serius.” . Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku,”Kamu bukan laki-laki!”.

 

Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dewi. Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian.

 

Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan. Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, dimana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam,aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat isteriku  sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya. Ia tidak menginginkan apapun dariku,tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan segera menyelesaikkan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.

 

Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?” Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku di lenganmu”, katanya, “Jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.

 

Aku memberitahukan Dewi soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya.“Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia mencemooh. Kata-katanya membuatku merasa tidak enak.

 

Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu. Kami saling menganggap orang asing.  Jadi ketika aku membopongnya di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami, ”Wah, papa membopong mama, mesra sekali”   Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut,” Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.”  Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.

 

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi dibajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya.

 

Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “Kebun diluar sedang dibongkar, hati-hati kalau kamu lewat sana.”

Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku di lenganku. Bayangan Dewi menjadi samar.

 

Pada hari kelima dan enam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti, dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak,dll. Aku mengangguk.  Perasaan kedekatan terasa semakin erat.

Aku tidak memberitahu Dewi tentang ini. Aku merasa begitu ringan membopong-nya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “Kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang”

 

Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat,”Semua pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum.Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit. Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut. “Pa, sudah waktunya membopong mama keluar” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yang penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik terakhir.  Aku menyanggah ia di lenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. Aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.

 

Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya di lenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata, “Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua”. Aku memeluknya dengan kuat dan berkata “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”.

 

Di depan rumah Dewi, aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Aku berkata padanya,” Maaf Dewi, aku tidak ingin bercerai. Aku serius”. Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam”. Kutepiskan tangannya dari dahiku “Maaf, Dewi,Aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf  padamu” Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak.

 

Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, ku pesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan?

Aku tersenyum, dan bilang: tulislah : “ Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua…”

 

sumber: unknown