Tuesday, November 30, 2010

Inspirasi - Mengapa Saya?

"If I were to say, 'God, why me?' about the bad things, then I should have said, 'God, why me?' about the good things that happened in my life."-- Arthur Robert Ashe, Jr., petenis profesional asal Amerika, 1943 -1993

Arthur Ashe adalah seorang petenis kulit hitam legendaris asal Amerika. Prestasinya sungguh luar biasa. Tiga gelar grand slam, turnamen paling bergengsi tersimpan di lemari kacanya. Gelar itu adalah US Open (1968), Australian Open (1970), dan Wimbledon (1975). Sebuah prestasi yang sulit diraih pada masa itu.

Selesai berkarir di lapangan, dia pun gantung raket. Namun dia bernasib kurang bagus. Pada 1979, ia terkena serangan jantung. Dokter memutuskan ia harus operasi by pass. Dua kali operasi dijalankan agar Ashe sembuh.

Tapi bukan sembuh yang didapat. Operasi ternyata membawa bencana lain. Dari transfusi darah, dia mendapat virus yang sekarang dikenal dengan nama HIV pada 1983. Pada masa itu, pengawasan terhadap berjangkitnya virus ini memang masih rendah.

Kenyataan pahit ini ia sembunyikan kepada publik. Sampai akhirnya, pada April 1992, koran terkemuka USA Today menurunkan laporannya mengenai kondisi kesehatannya. Sontak publik pun tercengang. Kebanyakan dari mereka menyayangkan tragedi yang menimpa petenis yang rendah hati itu.

Sepucuk surat dari seorang pengagumnya pun sampai ke tangannya. Penggemar itu menyatakan keprihatinannya. Dalam suratnya, sang penggemar bertanya, "Why did God have to select you for such a bad disease?". Pertanyaan yang biasa saja, tapi sungguh dalam, "Mengapa Tuhan memilih kamu untuk menerima penyakit ini?"

Ashe menjawab, "Begini. Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis. Di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis. 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional. 50 ribu datang ke arena untuk bertanding. 5 ribu mencapai turnamen grand slam. 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon. 4 orang sampai di semifinal. 2 orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?' Jadi ketika sekarang saya menderita sakit, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?'"

Pada 6 Februari 1993, Ashe mengembuskan napas terakhirnya. Dua bulan sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Ashe mendirikan the Arthur Ashe Institute for Urban Health. Dan beberapa minggu sebelum ia wafat, Ashe masih menyempatkan diri menulis memoarnya yang berjudul 'Days of Grace'.

Membaca ketulusan dan keikhlasan Ashe tidak saja menyentuh, tapi juga mengetuk hati siapa saja. Penjelasan panjang lebar tentang kemenangan di lapangan menggambarkan betapa dalam hidup kita hanya ingin mendapatkan hal-hal yang terbaik belaka dan selalu lupa untuk sekadar berucap syukur atas karunia itu. Bahkan alih-alih bersyukur, malah kesombongan yang kerap muncul di saat berada di puncak kejayaan.

Kadang sebaliknya yang terjadi pada saat kesusahan. Pertanyaan kenapa nasib buruk itu hanya menimpa pada kita kerap kali menggerundel dari mulut. Seolah-olah keburukan tidak boleh mampir melintasi dalam perjalanan hidup kita. Saat menerima cobaan, apa pun, kita bertanya kepada Tuhan 'mengapa saya, mengapa bukan orang lain?' Sehingga kita merasa berhak menggugat Tuhan. Bahkan memvonis betapa tidak adilnya Tuhan.

Ashe berbeda. Dia tak pernah mengeluh dan bertanya 'mengapa saya'. Dia tetap teguh dalam harapan. Seberapa besar pun beban hidup yang menimpa. Baginya, kebaikan dan keburukan dari Tuhan adalah anugerah yang terindah dalam hidupnya.

Ditulis oleh: Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

NB: Silakan share dengan tetap menyertakan nama penulisnya ya. Terima kasih

Inspirasi - Cerita, "Pencuri"


 
 

Suatu ketika, tinggallah sebuah keluarga kaya. Keluarga itu, terdiri dari orangtua, dan kedua anak laki-lakinya. Kekayaan mereka sangatlah berlimpah. Lumbung mereka, penuh dengan tumpukan padi dan gandum. Ladang mereka luas, lengkap dengan ratusan hewan ternak.

Namun, pada suatu malam, ada pencuri yang datang ke lumbung mereka. Sebagian besar padi yang baru di tuai, lenyap tak berbekas. Tak ada yang tahu siapa pencuri itu. Kejadian itu terus berulang, hingga beberapa malam berikutnya. Akan tetapi, tak ada yang mampu menangkap pencurinya.

Sang tuan rumah tentu berang dengan hal ini. "Pencuri terkutuk!!, akan kuikat dia kalau sampai kutangkap dengan tanganku sendiri." Begitu teriak sang tuan rumah. "Aku akan menangkap sendiri, biar rasakan pembalasanku."

Kedua anaknya, mulai ikut bicara. "Ayah, biarlah kami saja yang menangkap pencuri itu. Kami sudah cukup mampu melawannya. Kami sudah cukup besar, tentu, pencuri-pencuri itu akan takluk di tangan kami. "Ijinkan kami menangkapnya Ayah!"

Tak disangka, sang Ayah berpendapat lain. "Jangan. Kalian masih muda dan belum berpengalaman. Kalian masih belum mampu melawan mereka. Lihat tangan kalian, masih tak cukup kuat untuk menahan pukulan. Ilmu silat kalian masih sedikit. Kalian lebih baik tinggal saja di rumah. Biar aku saja yang menangkap mereka." Mendengar perintah itu, kedua anaknya hanya mampu terdiam.

Penjagaan memang diperketat, namun, tetap saja keluarga itu kecurian. Sang Ayah masih saja belum mampu menangkap pencurinya. Malah, kini hewan ternak yang mulai di ambil. Ia sangat putus asa dengan hal ini. Dengan berat hati, di datangilah Kepala Desa untuk minta petunjuk tentang masalah yang dialaminya. Diceritakannya semua kejadian pencurian itu.

Kepala Desa mendengarkan dengan cermat. Ia hanya berkata, "Mengapa tak biarkan kedua anakmu yang menjaga lumbung? Mengapa kau biarkan semua keinginan mereka tak kau penuhi? Ketahuilah, wahai orang yang sombong, sesungguhnya, engkau adalah "pencuri" harapan-harapan anakmu itu. Engkau tak lebih baik dari pencuri-pencuri hartamu. Sebab, engkau tak hanya mencuri harta, tapi juga mencuri impian-impian, dan semua kemampuan anak-anakmu. Biarkan mereka yang menjaganya, dan kau cukup sebagai pengawas."

Mendengar kata-kata itu, sang Ayah mulai sadar. Pada esok malam, diijinkanlah kedua anaknya untuk ikut menjaga lumbung. Dan tak berapa malam kemudian, ditangkaplah pencuri-pencuri itu, yang ternyata adalah penjaga lumbung mereka sendiri.

***

Sahabat, pernahkan kita bertanya kepada anak kecil tentang cita-cita dan harapan mereka? Ya, bisa jadi kita akan mendapat beragam jawaban. Suatu ketika mereka akan menjadi pilot, dan ketika lain mereka memilih untuk menjadi dokter. Suatu saat mereka akan mengatakan ingin bisa terbang, dan saat lain berteriak ingin dapat berenang seperti ikan. Walaupun pada akhirnya kita tahu hanya ada satu jawaban kelak, namun, pantaskah jika kita melarang mereka semua untuk punya harapan dan impian?

Begitulah, seperti halnya dalam cerita diatas, ada banyak pencuri-pencuri impian yang berkeliaran di sekitar kita. Mereka, mencuri semua impian, dan merampas harapan-harapan yang kita lambungkan. Mereka, selalu menghadang setiap langkah kita untuk mencapai tujuan-tujuan hidup.

Bisa jadi, pencuri-pencuri itu bisa hadir dalam bentuk orangtua, teman, saudara, atau bahkan rekan kerja. Namun, yang sering terjadi adalah, kita sendirilah pencuri harapan dan impian itu. Kita sendirilah pencuri yang paling besar menghadang setiap langkah. Kita sering temukan dalam diri, perasaan takut, ragu, dan bimbang dalam melangkah.

Terlalu sering kita mendengarkan suara kecil yang mengatakan, "Saya tidak bisa, saya tidak mampu." Atau, sering kita berucap, "Sepertinya, saya tak akan mungkin mengatasinya." "jangan, jangan lakukan ini sekarang, lakukan ini nanti saja. Terus seperti itu. Kegagalan, sering kita jadikan peniadaan dalam melangkah.

Namun, sahabat, seringkali bisa keliru..Kegagalan, adalah sebuah cara Allah untuk menunjukkan kepada kita tentang arti kesungguhan.Kegagalan, adalah pertanda tentang sebuah usaha yang tak akan berakhir. Kegagalan, adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana meraih semua harapan yang terlewat.

Memang, tak ada kesuksesan yang diraih dalam semalam. Karena itu, yakinlah, dengan kesabaran kita akan dapat meraih semua harapan dan impian. Maka, yakinlah dengan semua impian kita. Jika kita mampu, dan nurani kita mengatakan setuju, jangan biarkan orang lain mencuri impian itu--terutama oleh diri kita sendiri.

Dan sahabat, jangan jadikan diri kita pencuri-pencuri impian orang lain.Yakinlah dengan itu semua, sebab Allah selalu akan bersama kita.

Terimakasih telah membaca... Salam Motivasi...!

Sunday, November 28, 2010

Inspirasi - Pikiran Yang Tajam

Oleh Anthony Dio Martin ‎

Kita selalu kagum dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan memori yang luar biasa. Tadi pagi, saya melihat demo seorang anak yang bisa melakukan memori dengan luar biasa. Menghafal angka dan menghafal sajak. Kemampuan yang sangat luar biasa. Sampai-sampai,orang disebelah saya, seorang bapak-bapak... yang sudah tua berkata, "Ini pikiran saya udah tua. Nggak akan bisa menghafal sebanyak itu". Saya hanya mengatakan, "Pak, saya ada cara jitu yang luar biasa untuk punya kemampuan mengingat yang luar biasa". "Apa itu Pak. Kasih tau saya dong?" Saya menjawab singkat, "Mencatat. Pak!"

Betul. Sambil melihat anak tersebut menghafal, saya tetap percaya mengenai satu hal yang lebih tajam dari memori yang sehebat apapun yakni mencatat. Makanya muncul pepatah yang mengatakan, "Pensil yang paling tumpul adalah lebih baik dari pikiran yang paling tajam". Masalahnya, kadangkala kita bisa lupa. Lupa janji kita, lupa apa yang mau kita beli, lupa berapa harga produk yang kita beli beberapa waktu lalu, lupa janji, dan masih banyak yang dilupakan. Namun, pertanyaannya kalau memang bisa mencatat, mengapa harus dihafal pula? Konon, bahkan Einstein pun hanya menggunakan pikirannya untuk mengingat fakta-fakta yang penting, sehingga ia sering lupa hal yang kecil. Dan rasanya pikiran kita pun sebaiknya dipakai untuk mengingat hal-hal yang besar dan catatlah hal-hal yang kecil. Pada dasarnya hampir semua komputer hingga HP, saat ini punya fasilitas mencatat. Karena itu, saran saya bagi yang seringkali lupa dan kelupaan akan sesuatu, rajin-rajinlah mencatat. Mudah-mudahan untuk kebiasaan yang satu ini, Anda tidak akan lupa.

NB: Silakan share dan jangan lupa cantumkan selalu nama penulisnya ya. Terima kasih

Friday, November 26, 2010

Inspirasi - Kartu Kredit

Manusia terlalu percaya akan dirinya bahwa dia akan dapat rasional dalam mengambil keputusan. Padahal kenyataannya tidak. Sebagai contoh, sering saya melihat teman yang pemakaian kartu kreditnya berlebihan. Kalau ditanya, mereka sudah mengontrolnya dan merasa memakai sedikit saja. Padahal kenyataannya tagihannya jauh melebihi dari dugaannya.

Mengapa ? Karena menggunakan kartu kredit tidak terasa beda membayar 70.000 atau 700.000 atau 2.700.000. Rasanya sama. Tinggal tanda tangan saja. Makan 40.000 tanda tangan, selesai. Beli barang 3.000.000 tanda tangan, selesai juga. Rasa meneken tanda tangan ini sama. Semua pakai kertas kecil yang tidak ada bedanya antara 70.000 atau 700.000.

Anda tidak merasa berat untuk mengeluarkan uang. Bandingkan kalau anda membayar dengan uang seperti biasanya. Beli 40.000 anda akan mengeluarkan 4 lembar 10.000-an. Bahkan kalau membayar 2.000.000, harus 2 tumpuk uang sejutaan. Ini akan terasa beda bayarnya karena kelihatan banyaknya lembar uang yang dikeluarkan.

Manusia terlalu mempercayai otak kanannya. "Oh ya, saya ingat kok. Kemarin belanja ini 1 juta. Lalu yang itu 1 juta," kata dia. Tapi dia tidak merasa lagi berapa total keseluruhannya. Karena itu kalau anda lihat kenapa semua bank mengobral kartu kredit dan pemakaiannya. Anda saksikan iklan-iklan yang berisi pembelian dengan bunga 0%, diskon ini-itu atau buy 1 get 2 dan sebagainya. Juga ada iming-iming gratis iuran tahunan pertama, padahal orang lupa memperhatikan masa kartu kreditnya. Ingatnya ketika sudah ditagih. Maka mereka menunggu setahun lagi untuk membatalkannya. Tahun depannya juga ingat setelah telat sebulan dan diteruskan sampai terus-menerus. Sehingga banyak orang punya 5 kartu kredit serta selalu lupa membatalkan ketika tagihan iuran tahunannya sudah berjalan. Para bank yang mengeluarkan kartu kredit ini tahu bahwa anda sering lupa. Manusia terlalu percaya akan ingatannya.

Contoh lain, keanggotan fitness centre sebuah hotel berbintang untuk berolah raga. 1 tahun bayar 3 juta atau bulanan bayar 250 ribu. Kalau kasus seperti ini, sebaiknya anda bayar bulanan, meski harus 300 ribu sekalipun. Mengapa ? Kalau bayar sebulan sekali, anda menjadi sadar telah membayar sehingga harus berolah raga. Tapi kalau bayar tahunan, anda baru ingat ketika baru membayar atau adanya tagihan tahun depan. Sehingga di tengah-tengah tahun, anda tidak memanfaatkan fasilitas ini untuk berolah raga.

'Power of context', atau "kekuatan keadaan", membuat kita tidak logis dan rasional, karena kita terpengaruh oleh keadaan sekeliling kita dalam mengambil keputusan . Dunia bisnis sering memanfaatkan ini untuk membuat anda lebih banyak membeli barang, andapun harus lebih jernih melihat ini dan mengantisipasi keadaan.

* Tanadi Santoso 

NB: Silakan share dengan tetap mencantumkan nama penulisnya. Terima kasih

Inspirasi - Tanya Sang Anak

Konon pada suatu desa terpencilTerdapat sebuah keluargaTerdiri dari sang ayah dan ibuSerta seorang anak gadis muda dan naif!

Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu!Ibu! Mengapa aku dilahirkan wanita?Sang ibu menjawab,Karena ibu lebih kuat dari ayah!Sang anak terdiam dan berkata,Kenapa jadi begitu?

Sang anak pun bertanya kepada sang ayah!Ayah! Kenapa ibu lebih kuat dari ayah?Ayah pun menjawab,Karena ibumu seorang wanita!!!Sang anak kembali terdiam.

Dan sang anak pun kembali bertanya!Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ayah?Dan sang ayah pun kembali menjawab,Iya, kau adalah yang terkuat!Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya.

Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain.Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ibu?Ayah kembali menjawab,Iya kaulah yang terhebat dan terkuat!Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat?Sang anak pun kembali melontarkan pertanyaan.

Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan. Karena engkau adalah buah dari cintanya!

Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam. Cinta yang dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu!

Dan kau adalah segalanya buat kami.Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami.Tawamu adalah tawa kami.Tangismu adalah air mata kami.Dan cintamu adalah cinta kami.

Dan sang anak pun kembali bertanya!Apa itu Cinta, Ayah?Apa itu cinta, Ibu?Sang ayah dan ibu pun tersenyum!Dan mereka pun menjawab,Kau, kau adalah cinta kami sayang..

Khalil Gibran

Tuesday, November 23, 2010

Inspirasi - Fakta Dulu, Baru Bicara

Oleh: Sonny Wibisono

"Opinions are made to be changed, or how is truth to be got at?"-- Lord Byron, penyair asal Inggris, 1788-1824

KETIKA masuk ke dalam ruang rapat, dua rekannya langsung menghentikan pembicaraan. Sontak Agus merasa tidak enak. Dia pun langsung menduga ada sesuatu yang tengah dibicarakan dua rekannya. Pikiran Agus, yang memang penuh curiga melayang kemana-mana. Sampai akhirnya dia menaruh tuduhan: kedua temannya tengah merencanakan sebuah tindakan yang akan merugikannya dalam rapat ini.

Rapat pun dimulai. Alih-alih memperhatikan jalannya rapat, mata Agus malah lekat-lekat menyaksikan kedua rekannya. Dia bersiap, kalau saja dua orang rekannya berulah, dia akan menjegalnya. Namun lebih dari satu jam rapat, tak ada gelagat buruk. Malah yang terjadi, dia kena tegur sang bos gara-gara dia tidak bisa menjawab pertanyaan.

Karena hal sepele, Agus kena semprot. Anehnya, Agus justru menambah porsi dendam pada dua rekannya. Dia berkilah, dua orang itu teramat senang Agus diomeli sang bos. Malah dia makin menjadi-jadi. Pikirnya, dua orang itu tengah membuat rencana yang menyudutkannya di kelak hari. Sepanjang hari, sepanjang minggu, dia menjadi sibuk memperhatikan dua orang itu.

Anda, duhai pembaca, pasti bisa merasakan betapa repotnya menjadi Agus. Dia hidup dan sibuk dalam kecurigaan yang sama sekali tidak pernah terbukti. Anehnya, dia tidak mencari kebenaran dari tuduhannya itu. Namun malah membiarkan pikirannya sendiri yang mengendalikan kesehariannya, dan tanpa disadari juga karirnya. Performa kerja lambat laun tentu akan menurun. Gelagatnya sudah kelihatan. Dia kena semprot saat pertemuan dengan sang bos. Agaknya kisah legendaris Sam Kok atau Kisah Tiga Negara yang kesohor itu perlu diketengahkan agar Agus bisa tersadar dari lamunannya.

Alkisah, Cao-Cao, seorang perdana menteri yang melarikan diri dengan dibantu oleh seorang pejabat yang simpati kepadanya, Chen Gong. Dalam pelariannya, Cao-Cao bersembunyi di rumah pamannya, yang merupakan saudara angkat dari ayahnya.

Masalahnya, Cao-Cao bawaannya selalu curiga. Ia curiga setiap tindak tanduk dari Lu Boshe, pamannya. Hingga suatu hari ketika Lu Boshe mengadakan pertemuan keluarga, Cao-Cao berhasil menguping pembicaraan keluarga itu.

"Ikat saja dulu, lalu kita bunuh!" Itulah kalimat yang dicuri dengar oleh Cao-Cao.  Mendengar isi pembicaraan tersebut, Cao-Cao langsung marah. Ia pun mengambil pedangnya dan berusaha membunuh keluarga Lu Boshe. Tapi segera saja Chen Gong berusaha menenangkannya.

"Sabar, mari kita dengar dulu apa maksud dari pembicaraan tersebut," kata Chen Gong. Tapi Cao-Cao tidak mempedulikannya, walau Chen Gong sudah berusaha membujuknya dengan susah payah. Cao-Cao akhirnya membantai seluruh keluarga tersebut dengan pedangnya. Air mata Chen Gong pun mengalir deras sedih dan menyesalkan tindakan semena-mena yang dilakukan Cao-Cao. Setelah diselidiki, ternyata Pamannya hendak mengikat seekor babi untuk dijadikan santap malam bagi Cao-Cao dan temannya. Tapi nasi telah menjadi bubur. Kini, hanyalah penyesalan yang kemudian tersisa.

Semoga Agus atau kita semua tidak bertindak seperti Cao-Cao. Melihat segala sesuatu hanya dengan persepsi, bukan dengan fakta. Atau menghakimi orang dengan opini, bukan dengan bukti-bukti. Sebelum bertindak dan mengambil keputusan yang penting, galilah dulu bukti-bukti yang memadai. Dengarkan jangan hanya dari satu pihak saja. Setelah itu barulah Anda mengambil tindakan. Jangan kemudian penyesalan yang didapat ketika Anda telah memutuskan sesuatu tanpa didasari oleh fakta-fakta. Is that right brother?

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

Saturday, November 20, 2010

Inspirasi - Cerita, "Bibit Tanaman"


 
 

Ada 2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, "Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku."

Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.

Bibit yang kedua bergumam. "Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."

Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.

***

Sahabat, memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup.

Jadilah bibit yang pertama, yang mau dan mampu tumbuh menjulang dan akar-akarnya menembus kerasnya tanah. Walau kenyataan hidup apa yang diungkapkan oleh bibit ke2 tidaklah salah, bahwa ada tantangan diluar sana yang menghadang kita. Namun semua itu adalah anugerah dari Tuhan yang memang harus dilalui.

Bukankah dibawah tanah sana yang gelap gulita terdapat seluruh sumber "makanan" yang berlimpah ruah sehingga akar2 menerobos kedalam. Dan diatas sana ada cahaya matahari menunggu dedauanan demi "proses fotosintesis", dan air hujan yang menyejukan.

"Layaknya kehidupan, bumi/dunia ini adalah ladang kita. Dimana kita memilih tumbuh dengan baik atau kebalikannya. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak."

Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik dalam hidup kita, amin..

Trimakasih telah membaca.

Salam Motivasi...!

Inspirasi - Cerita, "Pohon"

Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.

"Anakku," ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.

"Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?" lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

"Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara," jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.

"Bagus," jawab spontan sang ayah. "Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon," tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

"Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya," jelas sang ayah.

"Anakku," ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. "Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran," ungkap sang ayah begitu berkesan.**

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

"Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran."

...

Sahabat, Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran," Siapapun Anda, bagaimanapun Anda, dan Dimanapun anda... tatap dan ikutilah cahaya lurus kebenaran... karena bila tidak anda akan tersesat dalam kegelapan. Dan Bila terperangkap dalam gelap, jangan mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lah cayaha walaupun dengan Lilin...

Terimakasih telah membaca... Salam Motivasi...!

Sumber : (muhammadnuh@eramuslim.com)

Tuesday, November 9, 2010

Inspirasi - Orang Pertama Yang Seharusnya Bertanggung Jawab

Dalam sebuah kitab klasik tertulis: "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu." Ini berbicara tentang cara kita melihat atau cara pandang kita terhadap segala sesuatu.

Kita seringkali dan sangat mudah menilai sesuatu di sekitar kita: kondisi alam dan bencana, lingkungan kerja yang menyebalkan, kemacetan di jalan raya, tontonan yang tidak mendidik sampai kepada mode rambut dan baju yang dikenakan seseorang. Lucunya, selalu saja kita menumpahkan kesalahan kepada orang lain, bukannya diri kita. Padahal kalau saja kita mau merenungkannya lebih bijak, orang pertama yang seharusnya bertanggung jawab ialah diri kita sendiri 

Orang suka menyalahkan lingkungan kerja yang menyebalkan, bos yang galak, teman-teman kantor yang egois, dan lainnya lagi. Padahal dia lupa kalau dirinyalah yang memilih kantor dimana dia bekerja, bukan orang lain.

Kita yang sering mengeluh saat terjebak macet, coba renungkan sebentar. Sumbangsih apa yang sedang diberikan oleh kendaraan yang sedang kita pakai saat itu? Kita yang marah dengan banjir, kita juga yang turut andil memboroskan kertas yang terbuat dari pepohonan hutan. Bagaimana dengan furniture dan ukiran kayu di rumah kita?

Tontonan yang tidak mendidik dan sungguh memprihatinkan. Siapa yang mengambil remote tv itu? Makanan di restoran cepat saji yang dikategorikan junk-food. Siapa yang suruh kita harus membeli di sana? Pornografi di internet yang merusak moral anak-anak kita, bahkan moral kita sendiri? Siapa yang memasang jaringan internet di rumah? Tapi anak-anak itu bisa melihatnya di warnet. Siapa yang memberinya uang jajan? Bahkan di henpon mereka. Siapa yang membelikannya henpon?

Sebagian orang yang anti dengan pemerintah dan parlemen mungkin berkata, "Saya tidak memilih dia menjadi presiden dan wakil rakyat waktu pemilu kemarin. Jadi itu bukan pilihan saya." Mengapa Anda masih mau tinggal di Indonesia? "Karena saya tidak punya uang untuk pindah ke luar negeri." Mengapa Anda tak bekerja keras dan kumpulkan uang dari sekarang?

Ya, kitalah orang pertama yang seharusnya bertanggung jawab atas segala sesuatu di sekitar kita. Tak perlu mengeluh. Karena pada saat kita mengeluh, kita sedang mengeluhkan diri kita sendiri.

oleh Bhudi Tjahja