Tuesday, August 8, 2017

Tak Ingin Anaknya Malu, Ayah Ini Rahasiakan Pekerjaannya, Hingga Suatu Hari Kebenaran Terungkap


"Saya tidak pernah memberitahu anak-anak saya apa pekerjaan saya sebenarnya. Saya tidak ingin mereka merasa malu karena saya," ungkap seorang ayah dalam sebuah postingan viral di media sosial Facebook.

Ayah asal India ini merahasiakan pekerjaannya dari anaknya, namun berusaha keras mengumpulkan uang demi membiayai pendidikan mereka.
Kisah ini membuat banyak netizen tersentuh.

Diunggah oleh fotografer jurnalis GMB Akash, kisah pria ini telah dibagikan lebih dari 156 ribu kali di Facebook dalam waktu tiga bulan.
Dalam postingan tersebut, Idris, berbicara tentang kesulitannya menyembunyikan pekerjaan dari anak-anaknya. Ia berkata pada anaknya bahwa ia adalah seorang buruh. Namun, ia sebenarnya adalah tukang bersih-bersih.

Idris bahkan mandi di toilet umum sebelum pulang ke rumah. Dengan begitu, tubuhnya tidak terlalu kotor dan bau sehingga anaknya tidak curiga apapun. Ia mengumpulkan uang hasil kerja kasarnya itu demi membiayai pendidikan sang anak.

"Saya ingin mereka berdiri dengan hormat di depan orang-orang.
Saya tidak pernah mau orang lain memandang rendah anak saya seperti mereka memandang rendah pada saya."

"Orang-orang selalu mempermalukan saya," ungkap Idris.
Namun, suatu hari, rahasia Idris terbongkar. Hari itu adalah hari terakhir pembayaran biaya kuliah anaknya. Namun, ia tak punya cukup uang.
Sang anak terancam tak bisa kuliah.

Beruntung, bantuan dari teman-teman sesama petugas kebersihan datang memberikan upah mereka hari itu. Tentu saja pada awalnya Idris menolak.
Tetapi teman-temannya berkata, "Tidak apa-apa kami kelaparan hari ini, tapi anakmu harus melanjutkan kuliahnya."

Idris pun menerima uang dari teman-temannya. Saat itu, ia pulang ke rumah tanpa mampir ke tempat pemandiam umum. Ia ingin pulang sebagai petugas kebersihan dan membiarkan anaknya melihat.

Menakjubkan, semua hasil kerja kerasnya terbayarkan.
Anaknya akan segera menyelesaikan kuliahnya. Anak-anaknya juga bekerja paruh waktu demi membantu perekonomian keluarga.

Idris kemudian mengakhiri ceritanya dengan berkata, "Sekarang saya tak pernah merasa sebagai pria miskin lagi. Siapapun yang memiliki anak-anak seperti itu, bagaimana bisa ia merasa miskin."
(Tiara Shelavie)

Kisah Inspirasi - Silakan Panggil Saya si Bodoh dan Tertawakan Saya

Alkisah, seorang matematikawan hebat tinggal di sebuah desa. Ia sering
dipanggil oleh raja untuk memberi saran mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan ekonomi. Reputasinya telah menyebar jauh.

Makanya, sangat menyakitkan sekali ketika kepala desa berkata
kepadanya, "Anda mungkin seorang matematikawan hebat yang memberi
nasihat kepada raja mengenai masalah ekonomi, tapi anak Anda tidak
tahu nilai emas atau perak."

Ahli matematika itu memanggil anaknya dan bertanya, "Mana yang lebih
berharga, emas atau perak?"

"Emas," kata anak itu.

"Itu betul. Lalu, mengapa kepala desa mengolok-olokmu, mengatakan
bahwa kamu tidak tahu nilai emas atau perak? Ia mengolok-olokku setiap
hari, hingga sesepuh desa mengatakan agar mengabaikan saja. Tapi, ini
menyakitkan saya. Saya merasa semua orang di desa ini menertawakan di
belakang saya karena kamu tidak tahu apa yang lebih berharga, emas
atau perak. Jelaskan pada saya tentang hal ini, Nak," pinta
matematikawan itu.

Maka anak ahli matematika itu pun menceritakan kepada ayahnya alasan
mengapa kepala desa memberi kesan seperti itu.

"Setiap hari dalam perjalanan ke sekolah, kepala desa memanggil saya
ke rumahnya. Di depan semua tetua desa, ia memegang koin perak di satu
tangan dan sebuah koin emas di tangan yang lain. Ia meminta saya untuk
mengambil koin yang lebih berharga. Saya mengambil koin perak itu. Ia
tertawa, para tetua desa juga, semua orang mengolok-olok saya. Lalu,
saya pergi ke sekolah. Hal ini terjadi setiap hari. Itulah sebabnya
mereka mengatakan bahwa saya tidak tahu mana yang lebih bernilai, emas
atau perak."

Sang ayah bingung. Anaknya tahu nilai emas dan perak, namun saat
diminta memilih antara koin emas dan koin perak, ia selalu mengambil
koin perak.

"Mengapa kamu tidak mengambil koin emas itu?" tanya sang ayah.

Sebagai jawabannya, sang anak membawa ayahnya ke kamarnya dan
menunjukkan kepadanya sebuah kotak. Di dalam kotak itu setidaknya ada
seratus koin perak.

Memandang ayahnya, anak matematikawan itu berkata, "Kalau saya
mengambil koin emas, maka permainan akan berhenti. Mereka akan
berhenti bersenang-senang dan saya akan berhenti mendapatkan uang."

Terkadang dalam hidup ini, kita harus bermain bodoh agar orang lain
menyukainya. Itu bukan berarti kita kalah dalam permainan.

Ini hanya membiarkan orang lain menang di satu arena permainan,
sementara kita pun menang di arena permainan lainnya.

Kita harus bisa memilih arena mana yang penting bagi kita dan arena
mana yang tidak.

Terima Kasih atas Waktumu

Jono telah jadi pengusaha muda kini. Urusannya banyak, sehingga nyaris
tak lagi punya waktu, bahkan sekadar menonton anaknya bertanding
futsal.

Sampai suatu ketika, dia mendapat telepon dari ibunya di seberang sana.

"Jon, kamu ingat Pak Kurtubi?" Ibu bertanya.

"Pak Kurtubi?"

"Ya, tetangga kita, pemilik rumah tua. Dia meninggal tadi pagi."

"Ya, aku ingat, Bu. Dia yang sering menemani aku main bola dan
membantuku membuat layang-layang saat aku kecil, 'kan?"

Ibu meminta Jono pulang kampung, menghadiri pemakaman Kurtubi. Meski
terhimpit jadwal sangat ketat, Jono terpaksa memenuhi permintaan
ibunya.

"Pak Kurtubi tak pernah lupa kamu. Dia menanyakan kabarmu tiap hari."

Jono pun memenuhi janjinya. Sepulang dari pemakaman, Ibu menggiring
Jono melihat rumah Kurtubi. Jono terperangah.

Sama sekali tak ada yang berubah. Bangunan maupun isinya. Jono tahu
betul karena sejak umur sembilan tahun hingga lulus SD, sejak ayahnya
meninggal, ia sering menghabiskan waktu di rumah itu.

"Cuma kotak itu yang enggak ada, Bu," sergah Jono tiba-tiba.

"Sebuah kotak berwarna kuning emas di lemari pajangan. Aku ingat
betul, karena setiap kali aku tanya apa isinya, Pak Kurtubi selalu
bilang, "Sesuatu yang paling berharga dalam hidupku."

Jono sebal, dia tak sempat tahu, apa yang paling berharga buat kakek
teman setianya di masa kecil itu.

Seminggu berlalu. Jono kembali tenggelam dalam kesibukan. Ketika suatu
siang, ia menerima kiriman paket dari sebuah nama yang sangat ia
kenal: Kurtubi H.S.

Tak sabar Jono membuka isi paket. Ada surat di dalamnya: "Saat kamu
menerima paket ini, aku mungkin sudah tak ada. Mohon diterima sebagai
persembahan rasa terima kasihku."

Jono melirik benda di samping surat itu, sebuah kotak berwarna kuning emas.

Tak sabar Jono membuka isinya. Hanya sebuah tulisan pendek ternyata:
"Terima kasih atas waktumu, yang engkau habiskan bersamaku dulu ...."
Jono terperangah.

Itukah hal paling berharga buat Kurtubi? Tak sadar, air mata Jono menetes.

Segera, ia mendapati Santi, sekretarisnya. "Tolong batalkan semua
jadwal rapat saya untuk besok. Saya harus nonton anak saya bertanding
futsal."

Jono menambahkan, "Terima kasih atas waktu yang kamu sediakan untuk
membantu saya selama ini."

Merasa Tuhan Tak Pernah Menjawab Doa Kita? Cobalah Cara Satu Ini

Alkisah, seorang pemuda kehilangan pekerjaannya dan tidak tahu harus
ke mana ia mengadu. Pergilah ia menemui seorang bijak.

Di depan guru bijak itu, sang pemuda menceritakan masalahnya.

Sambil mengepalkan tinjunya, ia berteriak, "Saya memohon kepada Tuhan
untuk mengatakan sesuatu untuk membantu saya. Guru, mengapa Tuhan
tidak menjawab?"

Guru bijak yang duduk di ujung ruangan, menjawab sesuatu. Tapi
suaranya nyaris tak terdengar.

Pemuda itu mendekat. "Apa yang kau katakan, Guru?" tanyanya.

Guru itu mengulangi, tapi lagi-lagi suaranya terdengar lembut nyaris
seperti bisikan. Pemuda itu bergerak mendekat lagi, sampai ia
bersandar di kursi sang Guru.

"Maaf," katanya. "Saya masih tidak bisa mendengan apa yang Guru katakan."

Dengan kepala mendongak, Guru bijak itu akhirnya berbicara. "Tuhan
terkadang berbisik," katanya. "Jadi, kita harus mendekat untuk
mendengarkannya."

Kali ini pemuda itu mendengar dan ia mengerti.

Ketika Kita Memaafkan Seseorang Tanpa si Pelaku Tahu Kita Telah Mamaafkannya

Alkisah, Buddha sedang bersama murid-muridnya ketika seorang pria
berjalan dengan tatapan marah. Pria itu berpikir Buddha sedang
melakukan sesuatu yang salah.

Pria itu adalah seorang pengusaha yang gelisah dan menemukan anak-anak
telah menghabiskan berjam-jam waktunya dengan Buddha saat mereka
seharusnya menjalankan bisnis mereka, untuk menghasilkan lebih banyak
uang.

Pria itu merasa buang-buang waktu saja menghabiskan empat jam duduk di
samping seseorang yang matanya selalu tertutup tidak percaya. Inilah
yang membuat pengusaha itu marah.

Dengan sangat marah, pria itu berjalan lurus ke arah Buddha, menatap
matanya dan meludah.

Ia sangat marah, tapi ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk
mengungkapkannya, ia hanya meludah ke arah Buddha.

Buddha hanya tersenyum. Ia tidak menunjukkan kemarahan, meskipun
murid-murid di sekelilingnya marah.

Mereka ingin bereaksi, tapi tidak bisa, karena Buddha ada di sana.
Jadi, semua orang hanya menggigit bibir bawah mereka dan merapatkan
tinjunya.

Setelah pengusaha itu meludahi Buddha dan menyadari tindakannya tidak
menimbulkan reaksi, ia berjalan terhuyung-huyung.

Buddha tidak bereaksi atau mengatakan apapun. Ia hanya tersenyum. Dan
itu cukup mengejutkan orang yang marah.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, pria tersebut bertemu seseorang
yang hanya tersenyum saat ia meludahi wajahnya.

Pria pengusaha itu tidak bisa tidur semalaman dan seluruh tubuhnya
seperti mengalami transformasi. Ia menggigil, gemetar. Ia merasa
seolah seluruh dunia telah berubah terbalik.

Keesokan harinya, pria itu pergi menemui dan mencium kaki Buddha,
serta berkata, "Mohon maafkan saya! Saya tidak tahu apa yang saya
lakukan."

Buddha menjawab, "Saya tidak bisa. Maaf!"

Semua orang termasuk murid-murid Buddha terperangah. Buddha kemudian
menjelaskan alasan pernyataannya.

Katanya, "Mengapa saya harus memaafkan Anda, bila Anda tidak melakukan
kesalahan apapun?"

Pengusaha itu tampak terkejut dan ia memberi tahu Buddha bahwa ialah
yang telah meludahinya.

Buddha berkata, "Oh! Orang itu tidak ada sekarang. Jika saya pernah
bertemu dengan orang yang Anda ajak bicara, saya akan memberitahunya
untuk memaafkan Anda. Bagi orang yang berada di sini, Anda tidak
melakukan kesalahan."

Itulah belas kasih yang nyata.

Belas kasih tidak mengatakan, saya memaafkan Anda.

Memaafkan harus sedemikian rupa sehingga orang yang dimaafkan, tidak
tahu bahwa kita telah memaafkan mereka.

Mereka bahkan seharusnya tidak merasa bersalah atas kesalahan mereka.

Kisah Alfred Nobel - Penemu Dinamit

Sekitar seratus tahun yang lalu, seorang pria terbangun dan mengambil
korannya dari pintu.

Saat ia duduk membaca koran, ia terkejut dan ngeri ketika membaca
namanya di kolom obituari.

Koran itu melaporkan kematiannya sendiri karena kesalahan.

Pertama, ia terkejut, tapi setelah ia memulihkan keadaan mentalnya
menjadi normal, ia sekarang ingin tahu tentang apa yang dikatakan
tentangnya.

"Raja dinamit meninggal. Ia adalah pedagang kematian." Demikian
tulisan dalam koran itu.

Pria itu adalah penemu dinamit. Setelah membaca obituari ini, ia
bertanya pada dirinya sendiri, "Begini saya ingin diingat?"

Ia merasakan sesuatu di dalam hatinya dan memutuskan bahwa bukan cara
seperti itu ia ingin diingat dan sejak hari itu ia mulai bekerja untuk
perdamaian.

Namanya, Alfred Nobel dan ia tidak mengingat Hadiah Nobelnya. Hadiah
perdamaian paling bergengsi yang diberikan kepada orang-orang dari
berbagai bidang untuk pekerjaan mereka menuju perdamaian.

Apa pun yang telah kita lakukan di masa lalu, tetap saja bisa mengubah
pandangan hidup dan pandangan kita terhadap kita.

Jangan pernah menyerah. Kapan pun waktu terbaik untuk memulai pekerjaan baik.

Berdoa Kepada Tuhan Bukan untuk Menghapus Rintangan Tapi Berdoa Agar di Beri Kekuatan Menghadapinya

Dua orang murid menemui guru mereka sebelum melalui hutan. Guru
memberi mereka instruksi untuk mengikuti jalan itu sampai pada akhir
kesimpulan, guna persiapan ujian akhir minggu ini.

Jalan setapak itu memiliki dua sisi, satu sisi jelas dan mulus, sisi
lain banyak kayu tumbang dan batu besar merintangi jalan.

Seorang murid memilih untuk menghindari rintangan, berlarian
mengelilingi dan menempuh jalan termudah sampai akhir. Ia merasa
pandai saat menghindarinya tanpa hambatan.

Sementara, murid kedua memilih untuk mengatasi hambatan, berjuang
melalui setiap tantangan di jalannya.

Murid yang memilih jalan mudah ini selesai lebih dulu dan merasa
bangga dengan dirinya sendiri. "Saya senang karena saya memilih untuk
menghindari batu-batu besar dan kayu gelondongan, mereka hanya akan
memperlambat saya saja," pikirnya pada diri sendiri.

Murid kedua tiba terakhir namun merasa kelelahan dan menyesali jalan
yang telah dipilihnya.

Guru itu mengangguk dan tersenyum pada mereka berdua. Ia meminta agar
mereka bergabung dengannya di lokasi tertentu dalam tiga hari.

Ketika mereka tiba, mereka bisa melihat bahwa ada jurang yang
lebarnya beberapa meter. Kedua murid itu melihat guru mereka dan sang
guru hanya mengatakan satu kata, "Lompat!"

Murid pertama melihat dari kejauhan dan hatinya runtuh. Guru
menatapnya, "Apa yang salah? Inilah lompatan menuju kebesaran. Segala
sesuatu yang telah kau lakukan sampai sekarang seharusnya sudah
dipersiapkan untuk saat ini."

Murid itu mengangkat bahu dan berjalan pergi, tahu bahwa ia belum
mempersiapkannya dengan baik untuk kebesaran.

Murid kedua memandang guru itu dan tersenyum gugup.

Ia tahu sekarang bahwa hambatan yang telah dijalaninya sebelumnya
adalah bagian dari persiapan. Ia tahu sekarang bahwa memilih mengatasi
rintangan, dan tidak menghindarinya, maka ia pun siap untuk melompat.

Ia mengukur lompatannya, belari menuju jurang, dan meluncurkan dirinya
ke udara. Ia berhasil!

Jia ingin membuat lompatan menuju kehebatan, maka kita harus mengerti
bahwa hidup dimaksudkan untuk menjadi rangkaian tantangan yang kita
atasi, jangan dihindari.

Kekacauan, percakapan yang sulit, kerja keras, disiplin, bertindak
dengan berani saat kita tidak merasakannya. Itu bagian dari
kesepakatan.

Jangan berdoa agar Tuhan menghapus rintangan, tapi bergoa agar Dia
memberi kita kekuatan untuk mengatasinya. Dan kemudian melompatinya!